PENGARUH
TAYANGAN TELEVISI
TERHADAP ANAK
DAN REMAJA
Oleh: Sismanan
(dibuat untuk memenuhi syarat calon anggota KPID Jateng)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teknologi
komunikasi dan informasi telah berkembang sedemikian pesatnya. Televisi
merupakan contoh nyata perkembangan teknologi yang sudah sedemikian akrab di
semua lapisan masyarakat. Hampir semua rumah dan kantor memiliki kotak ajaib
tersebut bahkan rumah tangga “The Have” bisa terdapat beberapa barang elektronik
tersebut dalam satu rumah atau bahkan hampir semua ruangan.
Setiap hari
masyarakat kita terus dijejali dengan siaran dan tayangan media massa terutama televisi. Ada berita, sinetron, film kartun,
film India, hiburan musik, komedi, iklan dan seambreg menu lain yang antara
satu chanel dengan chanel yang lain saling berebut untuk menarik perhatian
pemirsanya. Perebutan perhatian pemirsa tersebut seperti perlombaan yang
semuanya tentu ingin memperoleh kemenangan. Sebuah perlombaan harus ada aturan
perlombaan sebagai pedoman pelaksanaan dan juga harus ada wasit yang memimpin
dan mengawasi jalannya perlombaan agar sesuai dengan aturan dan agar perlombaan
dapat berjalan dengan lancar.
Sedangkan
internet juga merupakan perkembangan teknologi komunikasi lain yang juga sudah mulai
meluas terutama dikalangan menengah keatas serta hampir semua anak dan remaja
telah banyak yang terjangkiti “virus digital” dengan berbagai macam menunya
seperti chatting, searching, facebook, twiter,
games online, pasar online dan OL-OL lainnya.
Perkembangan
teknologi bisa membawa manfaat yang besar bila digunakan dengan tepat dan benar
namun dapat juga membawa dampak buruk terutama bagi generasi bangsa yang masih
dalam proses pencarian identitas diri. Anak-anak dan remaja adalah pihak yang
paling rentan terhadap dampak negatif penggunaan teknologi informasi ini. Tayangan-tayangan
yang mengandung unsur kekerasan, pornografi dan pornoaksi serta adalah salah
satu dari beberapa hal yang perlu diwaspadai.
Penilaian
antara lain datang dari Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Titi Said. Menurut Titi
Said, dunia pertelevisian terancam oleh unsur-unsur pornografi, vulgarisme dan
kekerasan. Ketiga unsur itu
hampir-hampir menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta dapat
ditonton secara bebas termasuk oleh anak-anak. Oleh karena itu, Titi Said
menyarankan agar ketiga unsur negatif tersebut dijauhkan dari pandangan
anak-anak mengingat kondisi psikologis mereka yang masih labil serta belum
mampu membedakan mana hal-hal negatif dan mana hal-hal positif dari sebuah
tayangan TV.[1]
B. Permasalahan
1.
Apa pengaruh tayangan
kekerasan terhadap perilaku anak dan remaja?
2.
Apa pengaruh tayangan
pornografi dan pornoaksi pada anak dan remaja?
3.
Bagaimana sikap
orangtua untuk mengurangi pengaruh negatif siaran televisi?
4.
Bagaimana aturan
yang terkait dengan penyiaran?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak dan remaja
2.
Mengetahui
pengaruh tayangan pornografi dan pornoaksi pada
anak dan remaja
3.
Mengetahui bagaimana
sikap yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengurangi dampak negatif
tayangan televisi.
4.
Mengetahui peraturan
yang terkait dengan penyiaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh
Tayangan Kekerasan
Kita pernah
terhenyak saat tahun 2000an kita mendengar ada banyak kasus dimana anak
membanting temannya sendiri karena meniru adegan “smackdown” yang ditontonnya.
Saat itu penulis juga mengalami sendiri permasalahan tersebut saat akhir tahun
2001 menjadi guru di sebuah Sekolah Dasar di Kota Purwokerto menemukan kasus
serupa dengan yang disiarkan di televisi. Seorang anak yang menendang dan
membanting beberapa temannya ke lantai hingga sakit karena meniru adegan
smackdown yang sering ditontonnya di televisi. Orangtua korban ada yang tidak
mau terima dan melaporkan ke sekolah hingga perlu upaya perdamaian yang cukup
alot antara orangtua korban dengan orangtua pelaku.
Akhir Desember
2012 di Amerika Serikat seorang remaja 20 tahun, menerobos masuk
ke sebuah Sekolah Dasar di Connecticut dan mengumbar tembakan ke segala penjuru
hingga menewaskan 26 orang tewas, termasuk ibu si penembak yang lebih dulu
ditembak sebelum tembakan membabibutanya dan terakhir si pelaku bunuh diri di
kompleks sekolah itu.
Media-media
televisi dan hiburan di Amerika sarat dengan penayangan film dan program yang
berbau kekerasan. Penayangan film dan berita kekerasan di media tentu saja akan
memberi dampak negatif, terutama bagi anak-anak dan remaja. Tayangan kekerasan
seperti aksi penembakan dan sebagainya akan ditiru oleh pemirsa yang sebagian
besar adalah anak-anak dan pelajar. Perkembangan teknologi informasi dan tumbuh
suburnya berbagai media penyiaran tidak seluruhnya berdampak positif bagi
masyarakat. Jika tidak pintar-pintar memilah dan memilih tayangan, khususnya
untuk anggota keluarga akan mudah terimitasi pada tayangan yang dapat memberi
efek negatif, baik itu yang mengarah pada kekerasan, konsumerisme dan sikap
antisosial.[2]
Bagaimana
pengaruh tayangan yang ditonton dengan perilaku anak merupakan hal yang menarik
untuk didiskusikan. Menurut A.Muis bahwa media massa memang
merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif (mudah mempengaruhi perilaku khalayak).
Manakala media dengan gencar-gencarnya menyajikan berbagai tayangan yang penuh
dengan adegan kekerasan atau kekejaman sosial, dihadapkan kepada kondisi
seorang anak dengan berbagai kelemahannya, maka melalui proses transformasi
budaya kekerasan akan melembaga pada diri seorang anak.[3]
Media televisi
memiliki kekuatan visualisasi luar biasa yang bisa memengaruhi penonton untuk
meniru apa yang ditayangkan. Apalagi jika penontonnya adalah kalangan anak-anak
dan remaja akan sangat mudah terpengaruh. Anak-anak sangat rentan dalam
menghadapi kekerasan, cenderung menjadi takut, cemas dan merasa tidak aman.
Selain kecemasan, tayangan kekerasan akan memicu trauma dalam diri anak, bahkan
memicu prilaku agresif pada mereka. Hasil penelitian terhadap anak menunjukkan
bahwa menyaksikan aksi kekerasan di televisi akan mendorong otak mereka untuk
memperlihatkan reaksi yang serupa ketika anak melihat kekerasan di dunia nyata.[4]
Seorang
psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu
menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka
tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang
terutama bikin “kecanduan” ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu
adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan
membosankan. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak
hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan
kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV
swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban
kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.[5]
Berdasarkan kajian psikologi komunikasi tayangan-tayangan
televisi menawarkan atau menyajikan pesan-pesan yang akan menstimulus organisme
penontonnya. Stimulus pesan-pesan televisi ini sebelum menimbulkan respon akan
mengendap di organisme penontonnya setelah melalui tahapan perhatian,
pengertian, dan penerimaan. Bagi penonton dewasa tentu efek negatif yang
ditimbulkan tidak begitu besar dibandingkan penonton anak-anak atau remaja.
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil.
Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang cepat atau lambat
mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter
anak-anak akan meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan
televisi sesuai dengan teori modeling akan menjadi model perilaku anak-anak.
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik
dibandingkan anak-anak. Penonton dewasa bukanlah audience pasif. Artinya,
organisme penonton dewasa sebagaimana konsepsi teori S-O-R (Stimulus Organisme
Respon) yang telah dikembangkan Hovland lebih bersifat aktif dibandingkan
penonton anak-anak. Penonton dewasa telah mampu memilah-milah mana yang baik
dan mana yang buruk sementara penonton anak-anak belum mampu mengkritisi atau
memfilter pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya (black box).[6]
Menurut Singer ada hubungan antara pilihan program
dengan tingkat kemarahan atau agresi. “Anak laki-laki atau perempuan yang
memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian – atau program kekerasan
tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka
juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain,”.[7]
Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci
menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap
perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari
anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan
semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak
menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak
nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan
dalam mengatasi setiap persoalan.[8]
Sejalan dengan
pandangan tersebut menurut
psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan
turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu
agresi. “Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu
melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan.“[9]
Hasil penelitian Lembaga Kesehatan
Mental Nasional Amerika Serikat yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh
tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada
anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya.[10]
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas
Washington memperkuat penelitian itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya
tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara
(Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit
putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk
kulit putih naik hampir 100%. Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak
langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi
pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih
anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam
penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun
kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir
penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan
pembunuhan oleh orang dewasa.[11]
Dampak destruktif dari tayangan
kekerasan adalah membuat anak kesulitan untuk membedakan antara fantasi dan
kehidupan nyata. Selain itu sensitifitas mereka menurun ketika menyaksikan
tindakan kekerasan terjadi, atau bahkan sebaliknya melihat kehidupan itu lebih
menakutkan dari realitas yang sebenarnya. Tanpa sadar, apa yang mereka tonton
dan juga mainkan akan mempengaruhi cara berpikir dan juga cara mereka memandang
kehidupan.[12]
B. Pengaruh Tayangan Pornografi dan Pornoaksi
Menu tayangan televisi
yang lain yang dapat berakibat buruk adalah hiburan musik namun bukan musiknya
atau lagunya yang menjadi sajian utama namun aksi vulgar berupa
goyangan-goyangan erotis dengan pakaian yang super mini yang memperlihatkan
bagian tubuh yang sensitif bagi lawan jenisnya (pornoaksi) yang menjadi pusat
perhatian penonton. Kita pernah dihebohkan dengan goyang ngebor, goyang
gergaji, goyang sesar dan goyang-goyangan lainnya.
Acara-acara
yang mempertontonkan gerakan erotis itu dengan sengaja memindahkan erotisme
dari panggung diskotek, pub, atau nightclub ke layar kaca (televisi). Bahkan
memindahkan adegan ranjang ke layar televisi. Saluran-saluran televisi seolah
berlomba mempertontonkan gerakan yang lebih berani lagi. Tak tanggung-tanggung
ada sebagian dari menu acara itu mengadakan lomba joged. Pemenangnya adalah tak
lain mereka yang lebih berani telanjang dan bergerak lebih erotis.[13]
Jadi pornografi dan
pornoaksi sudah sedemikian membudaya dalam kehidupan masyarakat kita yang
tersebar melalui kejahatan media, baik media cetak
maupun media elektronik. Yang menjadi
permasalahannya
adalah anak-anak dan remaja
yang belum pantas mengetahui tentang sex malah mempelajarinya atau dengan tidak
sengaja membaca, melihat (baik dari televisi,
pergaulan,
sex orang di sekeliling maupun dari majalah) dan menontonnya, secara phisik
pengaruh dari apa yang dilihat dan ditonton akan berbekas di otak dan
dimasukkan ke dalam hati sehingga timbullah banyak khayalan, akibat dari
banyaknya khayalan yang ada di otak tersebut dimanfaatkanlah oleh setan dalam
merayu dan menggoda sehingga terjerumus dalam berbuat dosa. Akibatnya
tanpa kita sadari, dampak dari hal tersebut akan merusak kehidupan masyarakat
sekarang, dan generasi yang akan datang, terutama pada moral dan mental para
generasi muda para penerus bangsa.yang sangat berdampak
negatif terhadap masyarakat.
Menurut Sarlito W. Sarwono, permasalahan remaja dalam
seksualitas muncul karena beberapa faktor antara lain adanya penyebaran
informasi dan rangsangan melalui media massa dengan teknologi yang sudah tak
terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba,
akan meniru apa yang dilihat atau didengar dar media massa, karena pada umumnya
mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.[14]
Hasil penelitian
LIPI menyebutkan, dampak tayangan pornografi di televisi menyebabkan
meningkatnya kasus kehamilan tidak dikehendaki di kalangan remaja, kekerasan
seksual, bahkan aborsi. Demikian juga dampak tayangan berbau kekerasan. Salah
satunya adalah maraknya aksi para bocah polos yang meniru gerakan para pegulat
smackdown beberapa waktu lalu.[15]
Bisa
kita saksikan bersama
berapa banyak
bayi yang lahir tanpa tahu kemana ia harus memanggil
ayah. Sudah berapa banyak gadis-gadis yang jadi korban dari keganasan hawa
nafsu yang tidak terkendali. Bahaya yang lebih besar lagi adalah makin maraknya
prostitusi, pelacuran, perdagangan manusia, perzinaan, pergaulan bebas yang
melampaui batas hingga pada tingkat kebinatangan yang menyebabkan orang-orang
banyak memenuhi penjara, rumah sakit, timbulnya fitnah, menyebar luasnya virus
HIV, merajalelanya penyakit AIDS yang hingga kini belum ditemukan penawarnya.[16]
Iklan di
televisi telah menjadi komoditas masyarakat. Kehadirannya telah menjelma
menjadi kekuatan baru yang mampu menyulap khalayak untuk secara suka rela
melakukan apa yang diinginkan. Penyajiannya yang informatif dan persuasif
menjadi tontonan yang menarik.[17]
Iklan juga
mempengaruhi kehidupan moral, etik, estetika, paling tidak perubahan standarnya
dikalangan masyarakat. Iklan-iklan tentang kehidupan malam, bar, panti pijat
secara terselubung melalui media mempengaruhi perubahan nilai dan pandangan
orang tentang seksualitas. Demikian pula iklan tentang perceraian, iklan
tentang penggunaan obat dan alat-alat
kontrasepsi juga ikut mempengaruhi perubahan standar moral
(penilaian tentang kehidupan seksual). Masih banyak lagi deretan pengaruh iklan
yang negatif yang dapat mengubah nilai-nilai moral, etik dan estetika suatu
masyarakat.[18]
C. Sikap Orangtua
Terhadap Tayangan Televisi
Kekerasan,
pornografi dan pornoaksi memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama
sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan atau menjadi
kambing hitam terhadap permasalahan masuknya kekerasan, pornografi dan pornoaksi dalam industri hiburan. Siapakah yang
pantas disalahkan?
produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Maka yang
lebih bijak dalam perkara ini adalah
meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Dan kata kuncinya adalah mulai
dari lingkungan terkecil yakni lingkungan
keluarga.
Peran orangtua dalam pendidikan dirumah sangatlah
penting. Dari
berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa
diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka
sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan
batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan
rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan
rutin, artinya anda
bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara
beraktivitas selain menonton TV.
Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia, mencatat, rata-rata anak usia Sekolah Dasar
menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari
biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5 jam sehari.
Sementara di hari Minggu bisa 7 sampai 8 jam. Jika rata-rata 4 jam sehari,
berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus
SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya
13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton
televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April
2004).
Anak yang
sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah
mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker –
produser acara TV anak-anak dan penulis – sebaiknya tidak lebih dari dua jam
sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum
bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa
sedikit lebih banyak. Memberikan batasan apa, kapan, dan
seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka
harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta
menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.[19]
Usahakan
TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting,
anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan
mainannya, untuk membaca cerita, belajar, mengaji dan istirahat, berjalan-jalan serta menikmati makan bersama keluarga.
Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal,
baik sendiri maupun bersama orang tuanya. Ajak anak untuk berdiskusi tentang
tayangan televisi, lalu membuat penilaian mana acara yang layak ditonton dan
mana yang tidak perlu ditonton serta menetapkan waktu yang boleh digunakan
untuk menonton televisi akan menjadikan lebih cerdas dalam menonton televisi
dan tidak menjadi kebiasaan buruk dimana anak hanya asal menonton dan waktunya
habis untuk menonton acara di televisi yang tidak ada habis-habisnya.
Dan saat
anak menonton TV ada baiknya orang ikut mendampingi. Orang tua dapat mengajak
anak menonton tayangan yang mengarah kepada pendidikan. Setelah menonton oran
tua bisa mengajak anak untuk berdiskusi bersama. Guru dan para pendidik juga memiliki peran
yang tak kalah penting, guru dapat menggunakan beberapa program di TV dalam
proses mengajar, guru dapat membantu anak dalam menggunakan program TV secara
bijaksana. Guru juga dapat mengajak anak berdialog bersama tentang acara TV dan
guru mengecek tentang pemahaman dan apa yang anak peroleh setelah menonton TV.[20]
Sebuah penelitian di University of
Montreal mengingatkan orangtua untuk mempedulikan rekomendasi waktu menonton
bagi anak yakni tidak lebih dari 2 jam karena dalam penelitian tersebut menunjukkan
bahwa batas waktu menonton televisi bagi
anak maksimal adalah 2 jam sehari. Lebih dari itu anak rentan mengalami
gangguan pada perkembangan otak terutama kemampuan mengingat kata dan
mengoperasikan angka-angka. Secara khusus, Prof. Pagani yang memimpin
penelitian menemukan adanya gangguan pada kemampuan mengingat perbendaharaan
kata dan kemampuan berhitung. Akibatnya anak tersebut jadi susah bicara untuk
berkomunikasi dan kesulitan mempelajari matematika.[21]
Selain secara pribadi dalam keluarga, kita
juga bisa mengingatkan khalayak untuk mampu bersikap bijak terhadap tayangan
televisi, seperti apa yang diingatkan oleh Jaringan Radio Komunitas Lampung
(JRKL) mengajak orangtua yang memiliki anak agar tidak melepaskan peran
pengasuhan anak kepada televisi melalui poster. Poster ini menggambarkan
kondisi kekinian, dimana orangtua saat ini lebih memilih pengasuhan anaknya
dengan membebaskan anaknya untuk menonton televisi. Selain itu, dalam poster
yang dicetak atas kerjasama JRKL dengan Cipta Media Bersama (CMB) ini, JRKL
menggambarkan ketidakberdayaan orangtua terhadap kebebasan anak dalam menonton
televisi.
Dalam
poster tersebut, JRKL berusaha mengingatkan para orangtua untuk tidak
membiarkan begitu saja anak menonton televisi untuk mempermudah peran
pengasuhannya. JRKL juga mengingatkan jika anak dibebaskan menonton televisi
tanpa pendampingan orangtua akan menyebabkan orangtua tidak akan mampu
perubahan sikap anaknya karena tidak semua tayangan televisi diperuntukan
kepada anak.[22]
Kampanye sikap bijak terhadap tayangan
televisi perlu terus dilakukan agar dapat mengingatkan masyarakat tentang dampak
buruk tayangan televisi. Sepinya masjid dan mushola serta TPQ terutama dari
aktifitas anak dan remaja juga disinyalir berkaitan dengan tayangan di televisi
yang lebih menarik bagi mereka. Seperti yang telah dilakukan oleh Pengurus
Masjid Agung Baitussalam Purwokerto pada tanggal 21 September 2013 yang telah
melaksanakan diskusi bertema “Matikan 2 Jam Televisi Setelah Maghrib” yang bertujuan
agar masyarakat mengurangi waktu menonton televisi dan kembali menghidupkan
tempat ibadah dan kembali membudayakan membaca serta belajar secara aktif.
Apa yang dilakukan oleh JRKL dan Pengurus Masjid
Agung Baitussalam Purwokerto patut diacungi jempol dan sebenarnya juga bisa
dilakukan oleh organisasi lain namun sepertinya belum banyak organisasi
masyarakat yang menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah ini.
D. Bagaimana
Aturan Tentang Penyiaran?
Undang-Undang penyiaran yang berlaku
sekarang adalah UU No.32 Tahun 2002 yang merupakan pengganti UU No.24 Tahun
1997. Menurut Undang-undang No.32 tahun 2002, bahwa lembaga penyiaran seperti radio dan televisi merupakan
media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta
kontrol dan perekat sosial. Selain itu juga dituliskan bahwa siaran yang
dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki
pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak,
maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral,
tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dari bunyi
pasal-pasal tersebut jelas bahwa media penyiaran memang memilki fungsi yang
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki pengaruh besar
dalam mempengaruhi mindset masyarakat dari tayangannya, maka dari itu media
penyiaran harus diatur oleh regulasi yang berfungsi untuk membatasi atau mengatur
isi dari tayangannya agar tidak menyimpang dari Undang-undang.[23]
Ihwal pelaksanaan
siaran, diatur dalam pasal 35 UU Penyiaran tersebut mengatur
bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran. Dan
pasal 36 dinyatakan bahwa isi
siaran wajib dijaga netralitasnya, dan tidak boleh megutamakan kepentingan
golongan tertentu. Selain itu, isi
siaran juga harus memuat 60 % mata acara yang berasal dari dalam negeri. Isi
siaran tidak bleh bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, bohong, menonjolkan
unsur kekerasan,
cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang,
mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan. Dan
dalam pasal 37 Isi siaran juga
dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai
agama, martabat
manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Bahasa pengantar yang
dipergunakan dalam isi siaran harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.[24]
Dalam hal siaran
iklan juga telah diatur dalam pasal
46 bahwa siaran iklan ada 2
yaitu siaran iklan dan iklan layanan masyarakat dan wajib menaati asas, tujuan, fungsi dan arah
penyiaran. Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
a. promosi yang dihubungkan dengan
ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung
perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain,
atau kelompok lain;
b. promosi minuman
keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d. hal-hal yang bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau
e. eksploitasi anak di bawah umur 18
(delapan belas) tahun.
Ketentuan lain dalam pasal
tersebut antara lain adalah materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga
penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI. Siaran iklan
niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti
standar siaran untuk anak-anak. Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli
oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.
Memperhatikan hal
tersebut diatas maka sebenarnya masalah kekerasan, pornografi dan pornoaksi
telah diatur dalam UU penyiaran karena dinyatakan bahwa isi siaran tidak boleh
menonjolkan unsur kekerasan dan cabul serta mengabaikan nilai-nilai agama dan
martabat manusia Indonesia. Selanjutnya KPI juga telah membuat Pedoman Perilaku
Penyiaran yang lebih memperjelas UU penyiaran termasuk adanya sanksi yang sudah
cukup berat bagi penyimpangan dari UU dan peraturan lain yang terkait dengan
penyiaran. Harapannya semua orang atau lembaga yang terkait dengan penyiaran
dapat menggunakan pedoman tersebut dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan
tugas penyiaran sehingga unsur-unsur kekerasan dan porno dapat diminimalisir.
Setiap mata acara
siaran wajib memiliki hak siar yang dicantumkan dalam mata acara tersebut.
Bahasa daerah dan bahasa asing dapat dipergunakan dengan ketentuan khusus.
Bahasa daerah
dipergunakan untuk muatan lokal dan mendukung acara tertentu, sedangkan bahasa
asing dipergunakan sesuai dengan mata acara siaran. Berkaitan dengan relai dan
siaran bersama
dapat dilakukan dengan pihak dalam negeri atau pihak dalam negeri.
Bagi yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan ada beberapa ancaman
berupa Sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam pasal 55 dan sanksi
pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 57 dan 58. Sanksi administrasi yang
dimaksud dapat berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap
tertentu;
c.
pembatasan durasi dan waktu siaran;
d.
denda administratif;
e.
pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f.
tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g.
pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
Sedangkan ketentuan pidana dalam
pasal 57 adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk
penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk
penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar beberapa pasal dan juga dalam
pasal 58 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran
radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran
televisi, setiap orang yang melanggar beberapa pasal yang lain.
Dalam
penyelenggaraan penyiaran memang tidak mudah menentukan keputusan tentang telah
terjadinya pelanggaran dan melakukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Sebab, paling tidak ada tiga komponen yang terlibat
dalam hal ini yakni, Pemerintah, pengelola, dan masyarakat (pemirsa). Bila
dicermati, tayangan televisi yang menimbulkan ekses negatif dapat dieliminasi
jika pemerintah sebagai regulator memiliki political will yang kuat guna
mengawasi Lembaga Penyiaran dalam menyajikan siaran atau tayangan-tayangannya.
Meskipun pemerintah (eksekutif dan legislatif) telah membuat UU No. 32 tahun
2002 tentang penyiaran tetapi pelaksanaannya masih setengah hati. Hal ini jelas
terlihat dalam pemberian legitimasi atau tafsir Undang-Undang tentang
keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KPI
sebagai Lembaga Negara Independen hanya berwenang mengawasi isi siaran melalui
P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) tanpa memiliki
wewenang memberikan sanksi yang tegas kepada lembaga penyiran yang telah melanggar P3
SPS. Jadi sifatnya hanya sebatas memberikan teguran sementara sanski
administratif sebagaimana tertuang dalam Bab VIII Pasal 55 UU No.32 tahun 2002
tentang Penyiaran menjadi domainnya pemerintah. Bagaimana mungkin KPI mampu
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai “juri penyiaran” kalau tidak diizinkan
memberikan “kartu peringatan” kepada lembaga penyiaran yang dinilai telah
melanggar aturan yang ada.
Tayangan
televisi yang telah meresahkan masyarakat memang membutuhkan dimensi kepedulian
moral bagi pengelola atau lembaga penyiaran. Pihak pengelola televisi memang
sering dihadapkan pada dilematis antara dimensi idiil dan komersial. Meskipun
secara filosopis idealisme (dimensi idiil) menjadi ciri hakiki pers tetapi
realitas menunjukkan bahwa aspek komersial lebih menggejala. Pengelola
penyiaran televisi masih terjebak pada upaya menayangkan siaran-siarannya yang
mengarah pada unsur hiburan dan informasi semata (infotainment). Sementara
televisi sebagai media massa memiliki fungsi di bidang pendidikan dan
kontrol/perekat social.[25]
BAB III
PENUTUP
Tayangan media
elektronik terutama televisi memiliki pengaruh yang besar terhadap pola pikir
masyarakat terutama anak-anak dan remaja. Tayangan kekerasan dapat menimbulkan
sifat agresif pada anak sedang tayangan pornografi dan pornoaksi akan menyebabkan
penontonnya memiliki “penyakit” yang dapat memudahkan syetan untuk
menjerumuskannya dalam perbuatan amoral sehingga dalam masyarakat menyebabkan
angka hamil diluar nikah mengalami peningkatan.
Orangtua perlu
memperhatikan anaknya dalam menonton televisi, hendaknya orangtua memberi
batasan dan jangan membiarkan anaknya
bebas diasuh oleh televisi. Maka alangkah lebih baik kalau orangtua dapat
mendampingi anaknya saat menonton televisi. Bagi guru hendaknya juga dapat
menjadikan tayangan televisi menjadi media pembelajaran yang cerdas dan kritis.
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan aturan pelaksanaanya telah dibuat
untuk mengatur orang atau lembaga yang terkait penyiaran. Pelaksanaannya di
lapangan memerlukan pengawalan, pengawasan dan evaluasi agar dapat berjalan
dengan baik dan disesuaikan dengan perkembangan. Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) memegang peranan penting dalam menciptakan iklim yang baik dalam dunia
penyiaran di Indonesia terutama agar tayangannya lebih ramah terhadap anak dan
remaja serta lebih mengembangkan dunia pendidikan.
Catatan kaki:
[2] http://indonesian.irib.ir/kultur/-/asset_publisher/Kd7k/content/peran-media-dan-perilaku-agresif/pop_up
; 12/9/2013; 10.31
[4] http://indonesian.irib.ir/kultur/-/asset_publisher/Kd7k/content/peran-media-dan-perilaku-agresif/pop_up
; 12/9/2013; 10.31
[9]
ibid
[10]
ibid
[11]
ibid
[12]
http://indonesian.irib.ir/kultur/-/asset_publisher/Kd7k/content/peran-media-dan-perilaku-agresif/pop_up
; 12/9/2013; 10.31
[14]
Heriana Eka Dewi, 2012. Memahami
Perkembangan Fisik Remaja. Yogyakarta: Gosyen Publishing. hlm.64
[18]
Ibid.hlm.154
[21] Harian Radar Banyumas, 28 September
2013.hlm 14
[23] http://blog.ub.ac.id/erinasurya/2013/06/28/analisis-undang-undang-penyiaran-no-32-th-2002/21/9/2013;15.50