Kamis, 07 November 2013

Makalah: Dampak Tayangan Televisi Terhadap Anak dan Remaja




PENGARUH TAYANGAN TELEVISI
TERHADAP ANAK DAN REMAJA
  

Oleh: Sismanan
(dibuat untuk memenuhi syarat calon anggota KPID Jateng)


BAB I
PENDAHULUAN
                                   
A.    Latar Belakang
Teknologi komunikasi dan informasi telah berkembang sedemikian pesatnya. Televisi merupakan contoh nyata perkembangan teknologi yang sudah sedemikian akrab di semua lapisan masyarakat. Hampir semua rumah dan kantor memiliki kotak ajaib tersebut bahkan rumah tangga “The Have” bisa terdapat beberapa barang elektronik tersebut dalam satu rumah atau bahkan hampir semua ruangan.
Setiap hari masyarakat kita terus dijejali dengan siaran dan tayangan media massa terutama  televisi. Ada berita, sinetron, film kartun, film India, hiburan musik, komedi, iklan dan seambreg menu lain yang antara satu chanel dengan chanel yang lain saling berebut untuk menarik perhatian pemirsanya. Perebutan perhatian pemirsa tersebut seperti perlombaan yang semuanya tentu ingin memperoleh kemenangan. Sebuah perlombaan harus ada aturan perlombaan sebagai pedoman pelaksanaan dan juga harus ada wasit yang memimpin dan mengawasi jalannya perlombaan agar sesuai dengan aturan dan agar perlombaan dapat berjalan dengan lancar.
Sedangkan internet juga merupakan perkembangan teknologi komunikasi lain yang juga sudah mulai meluas terutama dikalangan menengah keatas serta hampir semua anak dan remaja telah banyak yang terjangkiti “virus digital” dengan berbagai macam menunya seperti chatting, searching, facebook, twiter,  games online, pasar online dan OL-OL lainnya.
Perkembangan teknologi bisa membawa manfaat yang besar bila digunakan dengan tepat dan benar namun dapat juga membawa dampak buruk terutama bagi generasi bangsa yang masih dalam proses pencarian identitas diri. Anak-anak dan remaja adalah pihak yang paling rentan terhadap dampak negatif penggunaan teknologi informasi ini. Tayangan-tayangan yang mengandung unsur kekerasan, pornografi dan pornoaksi serta adalah salah satu dari beberapa hal yang perlu diwaspadai.
Penilaian antara lain datang dari Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Titi Said. Menurut Titi Said, dunia pertelevisian terancam oleh unsur-unsur pornografi, vulgarisme dan kekerasan. Ketiga unsur itu hampir-hampir menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta dapat ditonton secara bebas termasuk oleh anak-anak. Oleh karena itu, Titi Said menyarankan agar ketiga unsur negatif tersebut dijauhkan dari pandangan anak-anak mengingat kondisi psikologis mereka yang masih labil serta belum mampu membedakan mana hal-hal negatif dan mana hal-hal positif dari sebuah tayangan TV.[1]

B.     Permasalahan
1.      Apa pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak dan remaja?
2.      Apa pengaruh tayangan pornografi dan pornoaksi pada anak dan remaja?
3.      Bagaimana sikap orangtua untuk mengurangi pengaruh negatif siaran televisi?
4.      Bagaimana aturan yang terkait dengan penyiaran?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak dan remaja
2.      Mengetahui pengaruh tayangan pornografi dan pornoaksi pada  anak dan remaja
3.      Mengetahui bagaimana sikap yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengurangi dampak negatif tayangan televisi.
4.      Mengetahui peraturan yang terkait dengan penyiaran.


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengaruh Tayangan Kekerasan
Kita pernah terhenyak saat tahun 2000an kita mendengar ada banyak kasus dimana anak membanting temannya sendiri karena meniru adegan “smackdown” yang ditontonnya. Saat itu penulis juga mengalami sendiri permasalahan tersebut saat akhir tahun 2001 menjadi guru di sebuah Sekolah Dasar di Kota Purwokerto menemukan kasus serupa dengan yang disiarkan di televisi. Seorang anak yang menendang dan membanting beberapa temannya ke lantai hingga sakit karena meniru adegan smackdown yang sering ditontonnya di televisi. Orangtua korban ada yang tidak mau terima dan melaporkan ke sekolah hingga perlu upaya perdamaian yang cukup alot antara orangtua korban dengan orangtua pelaku.
Akhir Desember 2012 di Amerika Serikat seorang remaja 20 tahun, menerobos masuk ke sebuah Sekolah Dasar di Connecticut dan mengumbar tembakan ke segala penjuru hingga menewaskan 26 orang tewas, termasuk ibu si penembak yang lebih dulu ditembak sebelum tembakan membabibutanya dan terakhir si pelaku bunuh diri di kompleks sekolah itu.
Media-media televisi dan hiburan di Amerika sarat dengan penayangan film dan program yang berbau kekerasan. Penayangan film dan berita kekerasan di media tentu saja akan memberi dampak negatif, terutama bagi anak-anak dan remaja. Tayangan kekerasan seperti aksi penembakan dan sebagainya akan ditiru oleh pemirsa yang sebagian besar adalah anak-anak dan pelajar. Perkembangan teknologi informasi dan tumbuh suburnya berbagai media penyiaran tidak seluruhnya berdampak positif bagi masyarakat. Jika tidak pintar-pintar memilah dan memilih tayangan, khususnya untuk anggota keluarga akan mudah terimitasi pada tayangan yang dapat memberi efek negatif, baik itu yang mengarah pada kekerasan, konsumerisme dan sikap antisosial.[2]
Bagaimana pengaruh tayangan yang ditonton dengan perilaku anak merupakan hal yang menarik untuk didiskusikan. Menurut A.Muis bahwa media massa memang merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif (mudah mempengaruhi perilaku khalayak). Manakala media dengan gencar-gencarnya menyajikan berbagai tayangan yang penuh dengan adegan kekerasan atau kekejaman sosial, dihadapkan kepada kondisi seorang anak dengan berbagai kelemahannya, maka melalui proses transformasi budaya kekerasan akan melembaga pada diri seorang anak.[3]
Media televisi memiliki kekuatan visualisasi luar biasa yang bisa memengaruhi penonton untuk meniru apa yang ditayangkan. Apalagi jika penontonnya adalah kalangan anak-anak dan remaja akan sangat mudah terpengaruh. Anak-anak sangat rentan dalam menghadapi kekerasan, cenderung menjadi takut, cemas dan merasa tidak aman. Selain kecemasan, tayangan kekerasan akan memicu trauma dalam diri anak, bahkan memicu prilaku agresif pada mereka. Hasil penelitian terhadap anak menunjukkan bahwa menyaksikan aksi kekerasan di televisi akan mendorong otak mereka untuk memperlihatkan reaksi yang serupa ketika anak melihat kekerasan di dunia nyata.[4]
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin “kecanduan” ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.[5]
Berdasarkan kajian psikologi komunikasi tayangan-tayangan televisi menawarkan atau menyajikan pesan-pesan yang akan menstimulus organisme penontonnya. Stimulus pesan-pesan televisi ini sebelum menimbulkan respon akan mengendap di organisme penontonnya setelah melalui tahapan perhatian, pengertian, dan penerimaan. Bagi penonton dewasa tentu efek negatif yang ditimbulkan tidak begitu besar dibandingkan penonton anak-anak atau remaja.
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil. Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan. Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak akan meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan televisi sesuai dengan teori modeling akan menjadi model perilaku anak-anak.
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik dibandingkan anak-anak. Penonton dewasa bukanlah audience pasif. Artinya, organisme penonton dewasa sebagaimana konsepsi teori S-O-R (Stimulus Organisme Respon) yang telah dikembangkan Hovland lebih bersifat aktif dibandingkan penonton anak-anak. Penonton dewasa telah mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk sementara penonton anak-anak belum mampu mengkritisi atau memfilter pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya (black box).[6]
Menurut Singer ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. “Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian – atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain,.[7]
Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.[8]
Sejalan dengan pandangan tersebut menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. “Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan.[9]
Hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika Serikat yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya.[10]
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat penelitian itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.[11]
Dampak destruktif dari tayangan kekerasan adalah membuat anak kesulitan untuk membedakan antara fantasi dan kehidupan nyata. Selain itu sensitifitas mereka menurun ketika menyaksikan tindakan kekerasan terjadi, atau bahkan sebaliknya melihat kehidupan itu lebih menakutkan dari realitas yang sebenarnya. Tanpa sadar, apa yang mereka tonton dan juga mainkan akan mempengaruhi cara berpikir dan juga cara mereka memandang kehidupan.[12]

B.     Pengaruh Tayangan Pornografi dan Pornoaksi
Menu tayangan televisi yang lain yang dapat berakibat buruk adalah hiburan musik namun bukan musiknya atau lagunya yang menjadi sajian utama namun aksi vulgar berupa goyangan-goyangan erotis dengan pakaian yang super mini yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensitif bagi lawan jenisnya (pornoaksi) yang menjadi pusat perhatian penonton. Kita pernah dihebohkan dengan goyang ngebor, goyang gergaji, goyang sesar dan goyang-goyangan lainnya.
Acara-acara yang mempertontonkan gerakan erotis itu dengan sengaja memindahkan erotisme dari panggung diskotek, pub, atau nightclub ke layar kaca (televisi). Bahkan memindahkan adegan ranjang ke layar televisi. Saluran-saluran televisi seolah berlomba mempertontonkan gerakan yang lebih berani lagi. Tak tanggung-tanggung ada sebagian dari menu acara itu mengadakan lomba joged. Pemenangnya adalah tak lain mereka yang lebih berani telanjang dan bergerak lebih erotis.[13]
Jadi pornografi dan pornoaksi sudah sedemikian membudaya dalam kehidupan masyarakat kita yang tersebar melalui kejahatan media, baik media cetak maupun media elektronik. Yang menjadi permasalahannya adalah anak-anak dan remaja yang belum pantas mengetahui tentang sex malah mempelajarinya atau dengan tidak sengaja membaca, melihat (baik dari televisi, pergaulan, sex orang di sekeliling maupun dari majalah) dan menontonnya, secara phisik pengaruh dari apa yang dilihat dan ditonton akan berbekas di otak dan dimasukkan ke dalam hati sehingga timbullah banyak khayalan, akibat dari banyaknya khayalan yang ada di otak tersebut dimanfaatkanlah oleh setan dalam merayu dan menggoda sehingga terjerumus dalam berbuat dosa. Akibatnya tanpa kita sadari, dampak dari hal tersebut akan merusak kehidupan masyarakat sekarang, dan generasi yang akan datang, terutama pada moral dan mental para generasi muda para penerus bangsa.yang sangat berdampak negatif terhadap masyarakat.
Menurut Sarlito W. Sarwono, permasalahan remaja dalam seksualitas muncul karena beberapa faktor antara lain adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa dengan teknologi yang sudah tak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dar media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.[14]
Hasil penelitian LIPI menyebutkan, dampak tayangan pornografi di televisi menyebabkan meningkatnya kasus kehamilan tidak dikehendaki di kalangan remaja, kekerasan seksual, bahkan aborsi. Demikian juga dampak tayangan berbau kekerasan. Salah satunya adalah maraknya aksi para bocah polos yang meniru gerakan para pegulat smackdown beberapa waktu lalu.[15]
Bisa kita saksikan bersama berapa banyak bayi yang lahir tanpa tahu kemana ia harus memanggil ayah. Sudah berapa banyak gadis-gadis yang jadi korban dari keganasan hawa nafsu yang tidak terkendali. Bahaya yang lebih besar lagi adalah makin maraknya prostitusi, pelacuran, perdagangan manusia, perzinaan, pergaulan bebas yang melampaui batas hingga pada tingkat kebinatangan yang menyebabkan orang-orang banyak memenuhi penjara, rumah sakit, timbulnya fitnah, menyebar luasnya virus HIV, merajalelanya penyakit AIDS yang hingga kini belum ditemukan penawarnya.[16]
Iklan di televisi telah menjadi komoditas masyarakat. Kehadirannya telah menjelma menjadi kekuatan baru yang mampu menyulap khalayak untuk secara suka rela melakukan apa yang diinginkan. Penyajiannya yang informatif dan persuasif menjadi tontonan yang menarik.[17]
Iklan juga mempengaruhi kehidupan moral, etik, estetika, paling tidak perubahan standarnya dikalangan masyarakat. Iklan-iklan tentang kehidupan malam, bar, panti pijat secara terselubung melalui media mempengaruhi perubahan nilai dan pandangan orang tentang seksualitas. Demikian pula iklan tentang perceraian, iklan tentang penggunaan obat     dan alat-alat kontrasepsi  juga  ikut mempengaruhi perubahan standar moral (penilaian tentang kehidupan seksual). Masih banyak lagi deretan pengaruh iklan yang negatif yang dapat mengubah nilai-nilai moral, etik dan estetika suatu masyarakat.[18]

C.    Sikap Orangtua Terhadap Tayangan Televisi
Kekerasan, pornografi dan pornoaksi memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan atau menjadi kambing hitam terhadap permasalahan masuknya kekerasan, pornografi dan pornoaksi dalam industri hiburan. Siapakah yang pantas disalahkan? produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Maka yang lebih bijak dalam perkara ini adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Dan kata kuncinya adalah mulai dari lingkungan terkecil yakni lingkungan keluarga.
Peran orangtua dalam pendidikan dirumah sangatlah penting. Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, mencatat, rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5 jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa 7 sampai 8 jam. Jika rata-rata 4 jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker – produser acara TV anak-anak dan penulis – sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak. Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.[19]
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita, belajar, mengaji dan istirahat, berjalan-jalan serta menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya. Ajak anak untuk berdiskusi tentang tayangan televisi, lalu membuat penilaian mana acara yang layak ditonton dan mana yang tidak perlu ditonton serta menetapkan waktu yang boleh digunakan untuk menonton televisi akan menjadikan lebih cerdas dalam menonton televisi dan tidak menjadi kebiasaan buruk dimana anak hanya asal menonton dan waktunya habis untuk menonton acara di televisi yang tidak ada habis-habisnya.
Dan saat anak menonton TV ada baiknya orang ikut mendampingi. Orang tua dapat mengajak anak menonton tayangan yang mengarah kepada pendidikan. Setelah menonton oran tua bisa mengajak anak untuk berdiskusi bersama. Guru dan para pendidik juga memiliki peran yang tak kalah penting, guru dapat menggunakan beberapa program di TV dalam proses mengajar, guru dapat membantu anak dalam menggunakan program TV secara bijaksana. Guru juga dapat mengajak anak berdialog bersama tentang acara TV dan guru mengecek tentang pemahaman dan apa yang anak peroleh setelah menonton TV.[20]
Sebuah penelitian di University of Montreal mengingatkan orangtua untuk mempedulikan rekomendasi waktu menonton bagi anak yakni tidak lebih dari 2 jam karena dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa  batas waktu menonton televisi bagi anak maksimal adalah 2 jam sehari. Lebih dari itu anak rentan mengalami gangguan pada perkembangan otak terutama kemampuan mengingat kata dan mengoperasikan angka-angka. Secara khusus, Prof. Pagani yang memimpin penelitian menemukan adanya gangguan pada kemampuan mengingat perbendaharaan kata dan kemampuan berhitung. Akibatnya anak tersebut jadi susah bicara untuk berkomunikasi dan kesulitan mempelajari matematika.[21]
Selain secara pribadi dalam keluarga, kita juga bisa mengingatkan khalayak untuk mampu bersikap bijak terhadap tayangan televisi, seperti apa yang diingatkan oleh Jaringan Radio Komunitas Lampung (JRKL) mengajak orangtua yang memiliki anak agar tidak melepaskan peran pengasuhan anak kepada televisi melalui poster. Poster ini menggambarkan kondisi kekinian, dimana orangtua saat ini lebih memilih pengasuhan anaknya dengan membebaskan anaknya untuk menonton televisi. Selain itu, dalam poster yang dicetak atas kerjasama JRKL dengan Cipta Media Bersama (CMB) ini, JRKL menggambarkan ketidakberdayaan orangtua terhadap kebebasan anak dalam menonton televisi.
Dalam poster tersebut, JRKL berusaha mengingatkan para orangtua untuk tidak membiarkan begitu saja anak menonton televisi untuk mempermudah peran pengasuhannya. JRKL juga mengingatkan jika anak dibebaskan menonton televisi tanpa pendampingan orangtua akan menyebabkan orangtua tidak akan mampu perubahan sikap anaknya karena tidak semua tayangan televisi diperuntukan kepada anak.[22]
Kampanye sikap bijak terhadap tayangan televisi perlu terus dilakukan agar dapat mengingatkan masyarakat tentang dampak buruk tayangan televisi. Sepinya masjid dan mushola serta TPQ terutama dari aktifitas anak dan remaja juga disinyalir berkaitan dengan tayangan di televisi yang lebih menarik bagi mereka. Seperti yang telah dilakukan oleh Pengurus Masjid Agung Baitussalam Purwokerto pada tanggal 21 September 2013 yang telah melaksanakan diskusi bertema “Matikan 2 Jam Televisi Setelah Maghrib” yang bertujuan agar masyarakat mengurangi waktu menonton televisi dan kembali menghidupkan tempat ibadah dan kembali membudayakan membaca serta belajar secara aktif.
Apa yang dilakukan oleh JRKL dan Pengurus Masjid Agung Baitussalam Purwokerto patut diacungi jempol dan sebenarnya juga bisa dilakukan oleh organisasi lain namun sepertinya belum banyak organisasi masyarakat yang menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah ini.
D.    Bagaimana Aturan Tentang Penyiaran?
Undang-Undang penyiaran yang berlaku sekarang adalah UU No.32 Tahun 2002 yang merupakan pengganti UU No.24 Tahun 1997. Menurut Undang-undang No.32 tahun 2002, bahwa lembaga penyiaran seperti radio dan televisi merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Selain itu juga dituliskan bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dari bunyi pasal-pasal tersebut jelas bahwa media penyiaran memang memilki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi mindset masyarakat dari tayangannya, maka dari itu media penyiaran harus diatur oleh regulasi yang berfungsi untuk membatasi atau mengatur isi dari tayangannya agar tidak menyimpang dari Undang-undang.[23]
Ihwal pelaksanaan siaran, diatur dalam pasal 35 UU Penyiaran tersebut mengatur bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran.  Dan pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya, dan tidak boleh megutamakan kepentingan golongan tertentu.  Selain itu, isi siaran juga harus memuat 60 % mata acara yang berasal dari dalam negeri. Isi siaran tidak bleh bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, bohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.  Dan dalam pasal 37 Isi siaran juga dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Bahasa pengantar yang dipergunakan dalam isi siaran harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.[24] 
Dalam hal siaran iklan juga telah diatur dalam pasal 46 bahwa siaran iklan ada 2 yaitu siaran iklan dan iklan layanan masyarakat dan wajib menaati asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran. Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
a.  promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain;
b.    promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;         
c.   promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d.   hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau 
e.   eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Ketentuan lain dalam pasal tersebut antara lain adalah materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI. Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak. Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.
Memperhatikan hal tersebut diatas maka sebenarnya masalah kekerasan, pornografi dan pornoaksi telah diatur dalam UU penyiaran karena dinyatakan bahwa isi siaran tidak boleh menonjolkan unsur kekerasan dan cabul serta mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia. Selanjutnya KPI juga telah membuat Pedoman Perilaku Penyiaran yang lebih memperjelas UU penyiaran termasuk adanya sanksi yang sudah cukup berat bagi penyimpangan dari UU dan peraturan lain yang terkait dengan penyiaran. Harapannya semua orang atau lembaga yang terkait dengan penyiaran dapat menggunakan pedoman tersebut dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan tugas penyiaran sehingga unsur-unsur kekerasan dan porno dapat diminimalisir.
Setiap mata acara siaran wajib memiliki hak siar yang dicantumkan dalam mata acara tersebut. Bahasa daerah dan bahasa asing dapat dipergunakan dengan ketentuan khusus. Bahasa daerah dipergunakan untuk muatan lokal dan mendukung acara tertentu, sedangkan bahasa asing dipergunakan sesuai dengan mata acara siaran. Berkaitan dengan relai dan siaran bersama dapat dilakukan dengan pihak dalam negeri atau pihak dalam negeri.
Bagi yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan ada beberapa ancaman berupa Sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam pasal 55 dan sanksi pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 57 dan 58. Sanksi administrasi yang dimaksud dapat berupa:
a.              teguran tertulis;
b.              penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c.              pembatasan durasi dan waktu siaran;
d.              denda administratif;
e.              pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f.                tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g.              pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
Sedangkan ketentuan pidana dalam pasal 57 adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar beberapa pasal dan juga dalam pasal 58 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar beberapa pasal yang lain.
Dalam penyelenggaraan penyiaran memang tidak mudah menentukan keputusan tentang telah terjadinya pelanggaran dan melakukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Sebab, paling tidak ada tiga komponen yang terlibat dalam hal ini yakni, Pemerintah, pengelola, dan masyarakat (pemirsa). Bila dicermati, tayangan televisi yang menimbulkan ekses negatif dapat dieliminasi jika pemerintah sebagai regulator memiliki political will yang kuat guna mengawasi Lembaga Penyiaran dalam menyajikan siaran atau tayangan-tayangannya. Meskipun pemerintah (eksekutif dan legislatif) telah membuat UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran tetapi pelaksanaannya masih setengah hati. Hal ini jelas terlihat dalam pemberian legitimasi atau tafsir Undang-Undang tentang keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KPI sebagai Lembaga Negara Independen hanya berwenang mengawasi isi siaran melalui P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) tanpa memiliki wewenang memberikan sanksi yang tegas kepada lembaga penyiran yang telah melanggar P3 SPS. Jadi sifatnya hanya sebatas memberikan teguran sementara sanski administratif sebagaimana tertuang dalam Bab VIII Pasal 55 UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi domainnya pemerintah. Bagaimana mungkin KPI mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai “juri penyiaran” kalau tidak diizinkan memberikan “kartu peringatan” kepada lembaga penyiaran yang dinilai telah melanggar aturan yang ada.
Tayangan televisi yang telah meresahkan masyarakat memang membutuhkan dimensi kepedulian moral bagi pengelola atau lembaga penyiaran. Pihak pengelola televisi memang sering dihadapkan pada dilematis antara dimensi idiil dan komersial. Meskipun secara filosopis idealisme (dimensi idiil) menjadi ciri hakiki pers tetapi realitas menunjukkan bahwa aspek komersial lebih menggejala. Pengelola penyiaran televisi masih terjebak pada upaya menayangkan siaran-siarannya yang mengarah pada unsur hiburan dan informasi semata (infotainment). Sementara televisi sebagai media massa memiliki fungsi di bidang pendidikan dan kontrol/perekat social.[25]

 



 
BAB III
PENUTUP

Tayangan media elektronik terutama televisi memiliki pengaruh yang besar terhadap pola pikir masyarakat terutama anak-anak dan remaja. Tayangan kekerasan dapat menimbulkan sifat agresif pada anak sedang tayangan pornografi dan pornoaksi akan menyebabkan penontonnya memiliki “penyakit” yang dapat memudahkan syetan untuk menjerumuskannya dalam perbuatan amoral sehingga dalam masyarakat menyebabkan angka hamil diluar nikah mengalami peningkatan.
Orangtua perlu memperhatikan anaknya dalam menonton televisi, hendaknya orangtua memberi batasan dan jangan membiarkan  anaknya bebas diasuh oleh televisi. Maka alangkah lebih baik kalau orangtua dapat mendampingi anaknya saat menonton televisi. Bagi guru hendaknya juga dapat menjadikan tayangan televisi menjadi media pembelajaran yang cerdas dan kritis.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan aturan pelaksanaanya telah dibuat untuk mengatur orang atau lembaga yang terkait penyiaran. Pelaksanaannya di lapangan memerlukan pengawalan, pengawasan dan evaluasi agar dapat berjalan dengan baik dan disesuaikan dengan perkembangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memegang peranan penting dalam menciptakan iklim yang baik dalam dunia penyiaran di Indonesia terutama agar tayangannya lebih ramah terhadap anak dan remaja serta lebih mengembangkan dunia pendidikan.





 Catatan kaki:



[2] http://indonesian.irib.ir/kultur/-/asset_publisher/Kd7k/content/peran-media-dan-perilaku-agresif/pop_up ; 12/9/2013; 10.31
[4] http://indonesian.irib.ir/kultur/-/asset_publisher/Kd7k/content/peran-media-dan-perilaku-agresif/pop_up ; 12/9/2013; 10.31
[8] ibid
[9] ibid
[10] ibid
[11] ibid
[12] http://indonesian.irib.ir/kultur/-/asset_publisher/Kd7k/content/peran-media-dan-perilaku-agresif/pop_up ; 12/9/2013; 10.31
[13] Abu Al-Ghifari, 2003.Remaja Korban Mode.Bandung: Mujahid Press. hlm.150
[14] Heriana Eka Dewi, 2012. Memahami Perkembangan Fisik Remaja. Yogyakarta: Gosyen Publishing. hlm.64
[17] Abu Al-Ghifari, 2003.Remaja Korban Mode.Bandung: Mujahid Press. hlm.150
[18] Ibid.hlm.154
[21] Harian Radar Banyumas, 28 September 2013.hlm 14
[24] UU No.32 Tahun 2002 Tentang UU Penyiaran
Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub
Flag Counter