Fikih kebencanaan
adalah upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bencana dari tiga
aspek, yaitu aspek nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah/basic values), prinsip
umum (al-usul al-kulliyyah/general principles), dan aspek praktis (al-ahkam al-far’iyyah/concrete
rulings) yang berjalan dengan ajaran islam dalam menanggulangi bencana, baik
sebelum, saat, maupun setelah bencana terjadi.
Bencana adalah
kejadian yang mendatangkan gangguan serius dalam
kehidupan manusia, dalam bahasa Al-qur’an dan Hadits dapat disebut dengan
musibah. Bencana terkadang mengakibatkan kerugian, kerusakan (tadmir dan
tamziq) atau lumpuhnya fungsi-fungsi sosial masyarakat (halak dan fasad) dan
terjadinya kekacauan (fitnah). Bencana dapat menimpa siapa saja, baik orang yang
berbuat dosa atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, maupun orang
yang tidak berdosa (berbuat salah). Jika manusia yang berdosa ditimpa mudarat
(kerugian) akibat bencana tersebut, maka bagi dirinya hal itu berfungsi sebagai
iqab, nazilah, atau bahkan azab atas perbuatanya. Sedangkan bagi orang yang
tidak berdosa dan mereka masih hidup bencana adalah bala, yakni ujian untuk
melihat kualitas keimanan mereka, dan adalah rahmat karena menjadi momentum
untuk melakukan muhasabah dan perubahan kedepan. Adapun bagi yang meninggal
akibat bencana sedangkan ia tidak bermaksiat kepada Allah, maka hal itu menjadi
tangga untuk mendapatkan tempat yang mulia disisi Allah.
Karena bencana bisa
merupakan ujian dan rahmat dari Allah, maka masyarakat harus menyikapai dengan
positif, yaitu dengan tidak menyalah-nyalahkan atau memiliki prasangka negatif
terhadap Tuhan dan juga orang yang terkena bencana. Sikap berbaik sangka kepada
Allah juga harus diiringi dengan melakukan ikhtiar untuk melepaskan diri dari
bencana dan tidak berputus asa dari rahmat Allah serta tetap memiliki semangat
untuk bangkit kembali. Masyarakat yang menjadi korban bencana juga harus
memiliki keyakinan bahwa ada solidaritas orang lain untuk dirinya. Tetap
memiliki harapan masa depan atau optimisme hidup juga menjadi kata kunci dalam
cara menyikapi bencana.
Bencana pada
hakikatnya bukanlah bencana bagi orang yang terkena dampak langsung atau
menjadi korban saja, tetapi juga bencana bagi pihak lainnya. Oleh karena itu,
adalah kewajiban bersama bagi masyarakat untuk memberikan bantuan yang sesuai
dengan standar minimum pemenuhan hak korban bencana. Konsep bantuan kemanusiaan
untuk korban bencana bukan lagi merupakan sebuah kegiatan pemberian sumbangan
balaka (charity) atau kegiatan yang berorientasi pada keinginan pemberi bantuan
dan sekedar kebutuhan warga terdampak. Tetapi harus dilakukan dengan
berorientasi pada pemberdayaan, pemenuhan hak-hak hidup manusia dan
partisipatif dengan mengupaya kan kondisi-kondisi yang harus dicapai dalam
semua aksi kemanusiaan supaya penduduk yang terkena bencana dapat bertahan dan
pulih ke kondisi stabil dan bermartabat.
Pada saat bencana,
masyarakat sering menemui kebingungan terkait pelaksanaan ibadah. Pelaksanaan
ibadah pada saat bencana sesungguhnya dapat dilaksanakan diatas dua prinsip
umum, yaitu prinsip kemudahan (taysir) dan perubahan hukum sesuai dengan
perubahan situasi ( tahayyuru al-ahkam
bi taghayurri al-azzam waal-maka wa al-ahwal). Pada saat bencana, secara
prinsipil kewajiban manusia terhadap Tuhan harus tetap dilaksanakan. Namun
demikian, syariat Islam memberikan solusi kemudahan untuk pelaksanaanya. Islam
tidak membebani kewajiban yang berada diluar kapasitas umatnya. Manusia hanya
diminta untuk melaksanakan hak Allah sesuai dengan batas maksimal yang ia
miliki (taqwallah ala qadri al-istita’ah)
Dana Zakat untuk
korban Bencana
Allah telah
menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam Al-qur’an. Allah
Swt. berfirman:
۞إِنَّمَا
ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ
فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
orag-rang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk
hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S.
At-Taubah (9):60)
Ayat diatas memang
tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak
menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami korban
bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat
dengan menganologikan sebagai golongan fakr miskin, dengan pertimbangan bahwa
korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan sebagaimana pengertian
fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang yang dalam kondisi
kekurangan dan membutuhkan.
Dari keterangan
diatas, kiranya sudah dapat dipahami bahwa penyaluran dana zakat untuk korban
bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau
boleh juga dari bagian orang yang berhutang (ghorimin), karena dimungkinkan
untuk memenuhi kebutuhannya, kurban bencana harus berhutang. (Sumber MTT dan LPB PP Muhammadiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar