Senin, 09 September 2013
Selasa, 03 September 2013
Pawai Simpatik Pilkades Kedungwuluh Lor
Mengakhiri masa kampanye sebelumnya yang telah dilakukan oleh kedua calon kepala desa beserta pendukungnya maka pada hari Selasa, 3 September 2013 ditutup denga pawai simpatik yang diikuti oleh calon dan istrinya serta panitia, pengawas, perangkat desa dan BPD.
Inilah foto-fotonya:
Patroli Keamanan Sekolah (PKS) MAM Purwokerto
PKS disekolah bukanlah partai namun Patroli
Keamanan Sekolah yakni suatu organisasi
yang ditugaskan untuk menjaga kondusivitas dan keamanan sekolah sesuai
dengan norma yang berlaku dan tidak mengedepankan disiplin sehingga
tercipta keamanan dilingkungan sekolah.
1. Surat Keputusan Departmen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan bekerja sama dengan keputusan Kepolisian Republik Indonesia.
2. Instruksi mentri P dan K no 447/VIII-1/5 Tanggal 16 Pebruari 1984
3. Juklak Kapolri no Pol : Jungklak/2/XII/1984 tanggal 28 Desember 1984 tentang pembentukan PKS.
4. UUD LANTAS No.5 thn 1978
5. Telegram
Kapolri Jabar No. Pol: T/108/1994 pada tanggal 19 September 1994
tentang: Pembinaan dan Pemantapan PKS ditingkat SLTP/SLTA.
Madrasah Aliyah "Muallimin" Muhammadiyah Purwokerto yang terletak di tengah kota tepatnya dijalan Overste Isdiman III No. 20 termasuk jalur yang padat dan berada di komplek pendidikan, sehingga jalan rayanya cukup padat. Oleh karenanya siswa MAMM Purwokerto membentuk PKS.
PKS memiliki beberapa tugas, yaitu:
1. Menjaga
keamanan dan ketertiban sekolah. Salah satu contohnya adalah sweeping
ketika upacara bendera berlangsung. Tugas ini dilakukan oleh senior
(angkatan sebelumnya).
2. Menjaga setiap event sekolah. Selain mengenakan co card, PKS juga mengenakan jaket dan topi sebagai identitas dalam menjalankan tugas.
3. Mengatur
lalu lintas di depan sekolah atau biasa disebut PJR (Pengaturan Jalan
Raya). PJR dilakukan setiap hari Senin sampai Kamis dari pkl 06.30 –
07.15, dan siang hari dari pkl. 13.30 – 14.00. Saat PJR, PKS mengenakan seragam
putih lengan panjang dengan lambang PKS di lengan kanan dan lambang
Kepolisian di sebelah kiri.
Setelah dipilihlah beberapa siswa
sebagai anggota PKS lalu diadakan pelatihan di SPN Purwokerto dan juga Polsek Purwokerto Timur hingga anak memiliki dasar-dasar kedisiplinan
berlalulintas. Maka mulai awal September 2013 mereka sudah dapat melaksanakan tugas.
Kamis, 29 Agustus 2013
SUKSESKAN PILKADES!
Hari
Kamis besok tanggal 5 September 2013 masyarakat Desa Kedungwuluh Lor akan
melaksanakan pesta demokrasi pemilihan Kepala Desa atau Pilkades untuk masa
bakti 6 tahun kedepan. Sebagai warga masyarakat mari kita sukseskan mbaranggawe
desa kita dengan datang ke lapangan dan mencoblos bagi yang sudah memiliki hak
pilih. Gunakan hak pilih anda dengan sebaik-baiknya untuk menentukan pemimpin
desa kita; pilih yang terbaik yang sekiranya lebih bisa membawa Desa
Kedungwuluh Lor menjadi lebih baik. Jangan pernah suara kita mau dibeli oleh
siapa saja; baik calon kades, tim suksesnya ataupun para tukang judi. Takutlah
kepada Alloh karena yang demikian termasuk dosa, meskipun pada prakteknya money
politic sudah dianggap satu hal yang lumrah dalam pilkades.
Pilkades
hanya event sesaat, kalau pun kita mendukung seorang calon maka janganlah
berlebihan, gunakan akal sehat maka jangan sampai kita menjadi terpecah
dan jangan sampai kita menuruti hawa
nafsu yang akan dapat menyebabkan terganggunya hubungan kita dengan orang lain.
Kita
berdoa semoga pilkades Desa Kedungwuluh lor akan dapat berjalan dengan lancar
dan dapat terpilih lurah yang bisa membawa kebaikan bersama, baik dunia maupun
akhirat.
Mendidik Anak Sholat
Ahad kemarin sebagai reward/hadiah atas keberhasilan anak
saya yang telah memperoleh prestasi disekolah. Saya mengajak 2 anak saya yang
kelas 3 dan 5 MIM untuk ikut ke Wonosobo untuk bisa mengetahui suasana kampus
serta agar mereka mengetahui kemana selama ini bapaknya pergi tiap hari ahad
dan mudah-mudahan juga dapat menyemangati mereka untuk bisa lebih giat belajar,
“ramane sing wis bapak-bapak be gelem sekolah lan sinau; apamaning inyong sing
esih enom”. Kebetulan kuliah saya yang biasanya sampai sore kemarin hanya pagi
sampai dluhur sehingga setelah dluhur
saya juga bisa mengajak anak-anak untuk jalan-jalan menikmati wisata di
Wonosobo dan Banjarnegara.
Selesai kuliah belumlah dluhur, ketika pergi dari kampus
ternyata ban motor saya kempes sehingga saya meninggalkan anak-anak saya untuk
nambal ban. Saat saya kembali dari nambal ban, anak saya “Bi, nunggu Abi suwe
banget dados Ifa Iza teng mesjid sholat kalih rokaat kalih rokaat”; saya berbahagia sekali ternyata anak-anak saya
sudah sholat dan sudah mengetahui dan melaksanakan sholat jamak dan qoshor. Maka
saya jawab “Sipp! itu anaknya Abi yang cantik dan sholihah”.
Ketika sampai dirumah waktu sudah ba’da isya, dan kami
belum sholat maghrib dan isya namun karena capeknya saat leyeh-leyeh saya mulai
terjangkiti rasa ngantuk, bahkan sudah sedikit terlelap, saat itulah anak saya
mengajak saya untuk sholat berjamaah”Bi ayuh sholat maghrib kali isya
sareng-sareng, mbok angsal tigo kali kalih”
Apa yang bapak lakukan saat demikian; lagi cape dan
ngantuk tapi diajak sholat sama anak? Maka saya kuatkan diri saya untuk bangun
dan menerima ajakan mereka karena inilah yang selama ini kami ajarkan dan saya
ingin memberi contoh kepada anak-anak kami.
Beberapa hari yang lalu; sepulang sekolah anak saya yang
kelas 5 cerita kepada kami Abi dan Uminya “Mii, wau teng sekolahan bocah-bocah
kan ditakeni teng Pak Guru ‘Siapa yang tadi pagi sudah sholat shubuh?’ Masya ya
Mi, sekelas mung bocah 5 thok, sing liane mboten biasa sholat shubuh termasuk
sing jerene mpun baligh!”
Itu ditingkat MI, kami yang sekarang ada di MTs dan MA
dalam pelaksanaannya sholat terutama diawal tahun ajaran masih ada yang
sholatnya tidak tertib. Anak MTs masih pada bermain sendiri saat sholat sedang
untuk anak MA memang sudah tidak ada yang main-main karena malu namun saat
ditanya sholat dirumah juga masih banyak yang belum genap 5 waktu. Maka sebulan
pertama tahun ajaran baru ini kami di MTs-MA Muhammadiyah Purwokerto tiap pagi
mengajari anak lewat pengeras suara bacaan-bacaan sholat karena sebagian anak kita memang belum hafal
doa-doa yang harus dibaca ketika sholat dan mendisiplinkan anak dalam
pelaksanaan sholat berjamaah dengan salah satu guru bertugas dibelakang yang
akan mengawasi anak didiknya lalu jika ada anak yang masih main-main maka ia
harus mengulangi sholatnya. Saat menjadi guru di MTs Muhammadiyah Patikraja,
pada awalnya pelaksanaan sholat juga masih banyak yang bermain-main, namun
melalui pembinaan akhirnya pelaksanaan sholat berjamaah akhirnya berjalan dengan
tertib; anak-anak kalo ada gurunya terutama saya; ‘mlirik be ora wani’.
Kita tahu bahwa pelaksanaan sholat jumat dimasjid kita
ini juga belumlah tertib apalagi khusyu’ secara berjamaah. Anak-anak dibelakang
biasa ramai ngomong dan bermain bukan hanya pada saat khutbah tapi juga saat
sholat jum’atnya. Saya tahu saya sedang tidak disekolah dan mereka yang
dibelakang juga bukan murid-murid saya, ketika saya duduk dibelakang anak-anak
masih berani bicara dengan temannya, ketika saya mengingatkan supaya diam baru
diam tapi sebentar lagi rame lagi, ketika sholat yang disekitar saya sudah diam
yang agak jauhan sedikit pada ribut sendiri. Maka persoalan ini perlu perhatian
kita semua maka beberapa hal tersebutlah yang melatarbelakangi saya untuk
menyampaikan masalah bagaimana mendidik anak agar tertib sholat?
Mengingat Surat At-Tahrim ayat 6 yang sering dibacakan
khotib:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
"Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
Salah satu dari
sekian banyak kewajiban orang tua adalah mendidik anak shalat. Dalam Islam,
anak-anak memang belum dikenai beban syari’at sampai mereka baligh. Namun mereka harus dididik dan dilatih sejak masa
anak-anak agar menjadi terbiasa melakukan syari’at ketika telah dewasa. Maka
beberapa hal
hendaknya dilakukan orag tua agar anaknya bisa menjadi orang yang menegakan
sholat adalah:
Pertama: wajib bagi orang tua dan guru
untuk mengajarkan kepada mereka perihal thoharoh (bersuci, berwudhu), menjelaskan
kepada mereka tata cara sifat wudhu yang benar sesuai tuntunan nabi, syarat
sah, rukun-rukunnya dan hal-hal yang membatalkannya. Misalnya pada waktu-waktu shalat orang
tua mengajak anak untuk langsung melakukan shalat dengan bimbingan. Mulai dari
tata cara thaharah dan berwudhu pada anak, bagaimana membentuk barisan, diikuti
dengan praktek shalat yang benar serta menghafalkan doa-doa secara bertahap. Jangan2
anak kita biasa ribut karena belum bisa doa-doa sholat atau tidak tahu kalo
sholat itu punya rukun dan hal wajib yang harus dilakukan.
Kedua: Orang tua harus mengajarkan dan menanamkan kepada anak
bahwasannya mendirikan sholat adalah merupakan kewajiban sebagai mukmin
dan juga sebagai wujud rasa syukur kita sebagai manusia kepada Allah Ta'ala
atas limpahan segala nikmatNya yang tak mungkin bisa kita untuk menghitungnya.
Tanamkan kesadaran kepada mereka, bahwa dalam setiap tarikan dan hembusan nafas
kita, dalam setiap kedipan mata kita, dalam setiap detik yang kita lalui,
bahkan dalam sekecil apapun aktivitas yang kita lakukan, kita tak pernah luput
dari menikmati karunia dan kenikmatan yang Allah berikan. mengingatkan bahwa kewajiban
setiap mukmin adalah menegakkan sholat 5
waktu disamping ada shalat-shalat sunnah. Shalat
merupakan amalan yang pertama kali akan diminta pertanggungjawabannya di
akhirat. Pantas apabila Rasullullah SAW memerintahkan kepada para orang tua
untuk mendidik putra-putrinya agar mau melaksanakan shalat sejak sedini
mungkin. Bahkan, apabila pada usia tertentu anak-anak masih enggan untuk
melaksanakan shalat, orang tua boleh memberikan sanksi.
Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) meriwayatkan dari Amr bin
Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, "
مُرُوا
أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
(وصححه الألباني في "الإرواء"، رقم 247)
"Perintahkan anak kalian untuk shalat saat mereka
berusia tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat
mereka berusia sepuluh tahun. Bedakan mereka di tempat tidurnya." (Dishahihkan
oleh Al-Albany dalam Irwaul Ghalil, no. 247)
Ketiga: kita harus mendidik anak untuk belajar disiplin dalam memelihara waktu dan menjaga berbagai aturan yang terkait dengan waktu, dan tidak membiarkan diri untuk menyia-nyiakan waktu. Anak harus mengetahui bahwa waktu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim yang berjalan seiring dengan pergantian malam dan siang, dan disetiap tarikan nafas kita merupakan bagian dari waktu yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Ketiga: kita harus mendidik anak untuk belajar disiplin dalam memelihara waktu dan menjaga berbagai aturan yang terkait dengan waktu, dan tidak membiarkan diri untuk menyia-nyiakan waktu. Anak harus mengetahui bahwa waktu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim yang berjalan seiring dengan pergantian malam dan siang, dan disetiap tarikan nafas kita merupakan bagian dari waktu yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Keempat: Setiap
pencapaian anak dalam belajar shalat merupakan sebuah prestasi baginya. Sudah selayaknyalah kita
sebagai orang tuanya memberikan penghargaan. Penghargaan tidak hanya diberikan
atas prestasi akademik formal, tetapi hendaknya penghargaan diberikan ketika
anak mengerjakan shalat lima waktu dengan benar atau pun mampu membaca
ayat-ayat Al-Qur’an. Bentuk penghargaan tidak harus uang atau barang tapi
berupa pujian dan ucapan yang bersifat dukungan.
Kelima: Mengoreksi Kesalahan
Sebagian orang
tua menganggap bahwa tidak mengapa membiarkan anak melakukan kesalahan dalam
setiap pemenuhan syarat dan rukun dalam ibadah shalat. Mereka biasanya
beralasan bahwasanya toh masih anak-anak ini, sehingga kebanyakan berprinsip
“masih mending mau shalat juga”, dari pada nggak..!!
Adapun
contoh-contoh kesalahan yang sering dibiarkan misalnya membiarkan anak wudhu
tidak sempurna, pakaian yang tidak sesuai dan gerakan shalat yang cenderung
asal-asalan. Padahal pendidikan yang membekas itu akan didapat manakala
diajarkan sejak dini. Oleh karena itu hendaknya orang tua senantiasa
memperhatikan kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan si anak dalam menjalankan
praktek ibadah shalat dan memperbaikinya.
Kelima: Menggunakan
semua sarana yang tersedia dengan cara nasehat yang mudah dan lembut.
Menyediakan buku-buku, majalah dan kaset-kaset CD yang
berbicara tentang perkara shalat serta menjelaskan kedudukannya yang tinggi.
Keenam: Teladan
yang baik dari orang tua dalam mendidik
anak rajin shalat ini harus diwujudkan dengan teladan dalam arti yang
sesungguhnya. Jadi orang tua harus rajin mendirikan sholat agar sang anak bisa
meniru keteladanan yang baik dari orang tuanya sendiri. Keteladanan orang tua
yang baik serta contoh yang baik pula akan memiliki pengaruh sangat besar bagi
perkembangan kepribadian anak-anaknya maka dibutuhkan waktu
serta kesabaran orang tua disamping ketekunan dan keseriusan sang anak itu sendiri.
Ketujuh: Mengajak anak untuk ikut sholat agar anak
bisa belajar dan terbiasa melakukan sholat dengan tetap menjaga agar anak tidak
mengganggu pelaksanaan sholat, oleh karenanya anak yang kecil harus disamping
orangtunya, sedang anak yang sudah agak besar namun belum bisa serius dalam sholat hendaknya diselingi orang dewasa
yang akan dapat mengingatkannya agar mengurangi keributan diantara anak-anak.
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ
عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (سورة مريم: 55)
"Dan
ia menyuruh keluarganya untuk
bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi
Tuhannya." (QS. Maryam: 55)
Bahkan ajakan dan latihan anak-anak
untuk sholat tidak hanya saat anak sudah dewasa namun juga ketika anak masih
saat bayi. Saya memiliki anak yang baru berusia 3 bulan namun ia sudah biasa
ikut sholat ketika kami berjamaah dirumah, ia kami tempatkan disebelah saya
yang menjadi imam, sedang kakak-kakaknya yang perempuan dan ibunya
dibelakangnya.
Kedelapan: Mendorong
anak untuk bergaul dengan orang yang komitmen melaksanakan shalat ditambah
dorongan positif dalam diri mereka untuk berlomba dalam kebaikan dalam berupa
menunaikan shalat dan bersegera dalam kebaikan.
Kesembilan: Kerjasama untuk saling mendukung dari
semua anggota keluarga, sekolah dan masyarakat. Antara bapak dan ibu dan
anggota keluarga yg lain harus kompak dalam mendidik anak, begitu pula peran
guru disekolah harus bisa membiasakan anak untuk bisa dan biasa sholat serta
tutut mengawasi anak dilingkungannya. Maka saya sudah meminta kepada guru MIM
ikut mengawasi anak-anak yang sholat dimasjid ini yang tentunya sebagian besar
adalah siswa MIM. Orang tua dan guru hendaknya
tidak bosan memberikan peringatan, nasehat, bimbingan, pembinaan, walaupun anak-anak
mengulangi lagi sikap meremehkan dan mengabaikan sholat karena tidak
seorang pun yang tahu, kapan waktunya ucapan nasehat akan bermanfaat baginya.
Allah Ta'ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا (سورة طه: 132)
"Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya." (QS. Thaha: 132)
Kesepuluh: orang tua tidak boleh egois ingin
nikmat ibadah sendiri tanpa memperhatikan
bagaimana kondisi anak-anak. Kita berangkat sendiri sementara anak-anak
kita baru lari-lari pada saat sudah iqomat. Kita duduk didepan sementara anak
cucu kita dibelakang bermain sendiri. Memang shof terdepan adalah shof yang
terbaik maka kita ingin mendapatkan shof yang paling depan, namun kita juga
hendaknya mengajak anak kita untuk memperoleh shoft terdepan bersama kita. Maka
anak kita ikut sholat jumat ajaklah ia bersama kita, dampingi ia contohlah Ustadz
Lukman ini dan alangkah baiknya kalau ada petugas yang mengatur anak yang
datang agar tidak ngumpul di ambalan depan menghadap kejalan dan ngobrol
sendiri, tapi segera merapat kedepan bersama orang yang lebih dewasa serta
berusaha mendengarkan khutbah.
Kesebelas: Sedang sang khotib juga berusaha
untuk bisa menyampaikan materi yang pasnya tidak hanya untuk orang dewasa saja
tapi juga menyampaikan materi yang pas untuk anak dan remaja dan dengan suara
yang bisa didengar hingga kebelakang yang dapat menggunakan pengeras suara yang
baik; dalam hal ini juga termasuk imam saat membacakan takbir dan ayat al-qur’an.
Keduabelas: Memperbanyak doa dan harap kepada
Allah, semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka di jalannya yang lurus dan
menjadikan mereka termasuk orang-orang yang suka melaksanakan shalat dan
bertakwa. Hal ini pada kenyataannya merupakan sebab yang paling bermanfaat
untuk kebaikan anak keturunan kita agar anak-anak kita bisa menjadi anak-anak yang
sholeh dan sholehah yang dapat memberi kemanfaatan dunia akhirat bagi
orangtuanya.
“ROBBIJNGALNII MUQIIMASHOLAATI
WAMINNDZURRIYYATII ROBBANAA WATAQOBBALDUNGA”
Rabu, 28 Agustus 2013
Demokrasi Busuk Pilkades
|
KORAN SINDO, 19 April 2013
Konon walau tidak dalam wilayah kerja penyelenggara
pemilu (KPU dan Panwaslu), pemilihan kepala desa (pilkades) merupakan
aktualisasi pemerintahan politik yang berasal langsung dari rakyat.
Maka tidak mengherankan bila kegiatan pilkades pun tidak kalah serunya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Pembedanya hanyalah pilkades berada di wilayah yang sangat lokal, yaitu desa. Sebagai bagian dari pemerintahan politik, seorang kepala desa pun dipilih langsung melalui proses pemungutan suara sebagaimana layaknya pemilu.
Setiap warga masyarakat di daerah tersebut —- yang dibuktikan dengan kartu kependudukan —- yang sudah memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih, memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi suaranya. Pendek kata, persyaratan administrasi yang diberlakukan sama persis dengan aturan dalam penentuan pemerintahan politik, misalnya : usia minimal 17 tahun atau sudah menikah, bukan anggota TNI/ Polri, memiliki surat panggilan, mencoblos surat suara yang sudah ditentukan panitia dan seterusnya.
Ironisnya, walau hanya perhelatan pemilu lokal di tingkat desa, berbagai kebusukan politik dibalik kegiatan pilkades tidak dapat dielakkan. Bahkan dapat dikatakan, penodaan nilai-nilai demokrasi di pilkades jauh lebih busuk dibandingkan pemilihan umum di tingkatan pemerintahan politik yang lebih tinggi.
Salah satu contoh kebusukan dalam pilkades yang paling menonjol ialah merajalelanya praktik politik uang (money politics) karena tidak ada sanksi hukum yang bersifat mengikat, kecuali hanya sanksi moral. Konyolnya, praktik money politicsdalam pilkades dianggap sebagai hal yang lumrah dan dipandang sebagai tradisi yang tidak harus dipersoalkan. Sebagian besar masyarakat bahkan sangat mengharapkan adanya pembagian uang dari para kontestan pilkades tersebut.
Sebaik apapun integritas kontestan, tapi jika tidak memberikan ‘upeti’ kepada masyarakat pemilih, kecil harapan untuk memenangkan pilkades. Sebaliknya, seorang kontestan yang secara nyata di hadapan masyarakat memiliki reputasi buruk —- baik integritas moral maupun profesionalitas —-, bila kucuran upeti mengalir lancar kepada masyarakat, harapan menang pun akan ada di depan mata.
Pembusukan pilkades melalui praktik money politics juga tidak semata-mata dilakukan oleh kontestan yang ingin memenangkan persaingan dengan cara yang tidak jujur, bahkan justru yang paling membuat heboh ialah para botoh (petaruh). Para botoh ini pada umumnya justru orang-orang dari luar desa yang sedang melaksanakan perhelatan demokrasi tersebut.
Tidak jarang para botoh tersebut yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar memilih kontestan tertentu. Harapannya, bila calon yang didukungnya menang, maka botoh tersebut akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari uang yang dibagikan kepada masyarakat. Banyak model dan modus yang dilakukan para ‘tim sukses’ cakades maupun botoh dalam membagi uang kepada masyarakat.
Di antaranya melalui ‘serangan fajar’ pada pagi hari menjelang hak suara pemilih dipergunakan. Tidaklah mengherankan, semakin banyak cakadesnya, maka akan semakin banyak pula ‘uang panas’ tersebut beredar di tengahtengah masyarakat pemilih. Setiap individu pemilih memiliki harga tersendiri. Kisaran uang yang diterima individu pemilih ratarata antara lima puluh ribu hingga satu juta rupiah.
Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki hak pilih, dapat dipastikan semakin besar pula uang panas yang diperoleh keluarga tersebut. Bila dalam pemilu, para praktisi money politics cenderung menjalankan aksinya secara diam-diam, sebaliknya dalam pilkades terjadi secara terang-terangan. Kontestan, tim sukses hingga botoh tidak lagi punya malu untuk membagi-bagi uang kepada masyarakat.
Lebih konyol lagi, ada pula yang membagi uang secara terang-terangan dijalan dengan cara menghadang masyarakat yang sedang menuju tempat pemungutan suara (TPS), atau bahkan ada yang membaginya di depan TPS. Panitia pilkades pun cenderung tidak ambil pusing dengan situasi itu, dan menganggap sebagai urusan internal kontestan. Mengapa panitia diam? Bagi panitia pada umumnya yang penting ritual pilkades berjalan lancar, juga tidak ada jerat hukum yang bersifat mengikat bagi pelaku money politics.
Risiko terburuknya adalah konflik horizontal antar pendukung dan menganggap pilkades tidak berjalan secara sportif. Pertanyaannya, mengapa money politics dalam pilkades tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana seperti halnya dalam pileg, pilpres maupun pilkada? Tampaknya sudah saatnya keadaban pemilu diturunkan hingga tingkat desa. Desa merupakan wilayah pemerintahan politik paling dasar dalam sistem pemerintahan di negeri ini.
Akhirnya, dalam rangka menuju desa yang berperadaban dan dipimpin oleh kepala desa yang berintegritas tinggi, money politics dalam pilkades sudah saatnya dikategorikan sebagai kejahatan pemilu. Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke tingkat pilkades. ●
Maka tidak mengherankan bila kegiatan pilkades pun tidak kalah serunya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Pembedanya hanyalah pilkades berada di wilayah yang sangat lokal, yaitu desa. Sebagai bagian dari pemerintahan politik, seorang kepala desa pun dipilih langsung melalui proses pemungutan suara sebagaimana layaknya pemilu.
Setiap warga masyarakat di daerah tersebut —- yang dibuktikan dengan kartu kependudukan —- yang sudah memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih, memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi suaranya. Pendek kata, persyaratan administrasi yang diberlakukan sama persis dengan aturan dalam penentuan pemerintahan politik, misalnya : usia minimal 17 tahun atau sudah menikah, bukan anggota TNI/ Polri, memiliki surat panggilan, mencoblos surat suara yang sudah ditentukan panitia dan seterusnya.
Ironisnya, walau hanya perhelatan pemilu lokal di tingkat desa, berbagai kebusukan politik dibalik kegiatan pilkades tidak dapat dielakkan. Bahkan dapat dikatakan, penodaan nilai-nilai demokrasi di pilkades jauh lebih busuk dibandingkan pemilihan umum di tingkatan pemerintahan politik yang lebih tinggi.
Salah satu contoh kebusukan dalam pilkades yang paling menonjol ialah merajalelanya praktik politik uang (money politics) karena tidak ada sanksi hukum yang bersifat mengikat, kecuali hanya sanksi moral. Konyolnya, praktik money politicsdalam pilkades dianggap sebagai hal yang lumrah dan dipandang sebagai tradisi yang tidak harus dipersoalkan. Sebagian besar masyarakat bahkan sangat mengharapkan adanya pembagian uang dari para kontestan pilkades tersebut.
Sebaik apapun integritas kontestan, tapi jika tidak memberikan ‘upeti’ kepada masyarakat pemilih, kecil harapan untuk memenangkan pilkades. Sebaliknya, seorang kontestan yang secara nyata di hadapan masyarakat memiliki reputasi buruk —- baik integritas moral maupun profesionalitas —-, bila kucuran upeti mengalir lancar kepada masyarakat, harapan menang pun akan ada di depan mata.
Pembusukan pilkades melalui praktik money politics juga tidak semata-mata dilakukan oleh kontestan yang ingin memenangkan persaingan dengan cara yang tidak jujur, bahkan justru yang paling membuat heboh ialah para botoh (petaruh). Para botoh ini pada umumnya justru orang-orang dari luar desa yang sedang melaksanakan perhelatan demokrasi tersebut.
Tidak jarang para botoh tersebut yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar memilih kontestan tertentu. Harapannya, bila calon yang didukungnya menang, maka botoh tersebut akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari uang yang dibagikan kepada masyarakat. Banyak model dan modus yang dilakukan para ‘tim sukses’ cakades maupun botoh dalam membagi uang kepada masyarakat.
Di antaranya melalui ‘serangan fajar’ pada pagi hari menjelang hak suara pemilih dipergunakan. Tidaklah mengherankan, semakin banyak cakadesnya, maka akan semakin banyak pula ‘uang panas’ tersebut beredar di tengahtengah masyarakat pemilih. Setiap individu pemilih memiliki harga tersendiri. Kisaran uang yang diterima individu pemilih ratarata antara lima puluh ribu hingga satu juta rupiah.
Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki hak pilih, dapat dipastikan semakin besar pula uang panas yang diperoleh keluarga tersebut. Bila dalam pemilu, para praktisi money politics cenderung menjalankan aksinya secara diam-diam, sebaliknya dalam pilkades terjadi secara terang-terangan. Kontestan, tim sukses hingga botoh tidak lagi punya malu untuk membagi-bagi uang kepada masyarakat.
Lebih konyol lagi, ada pula yang membagi uang secara terang-terangan dijalan dengan cara menghadang masyarakat yang sedang menuju tempat pemungutan suara (TPS), atau bahkan ada yang membaginya di depan TPS. Panitia pilkades pun cenderung tidak ambil pusing dengan situasi itu, dan menganggap sebagai urusan internal kontestan. Mengapa panitia diam? Bagi panitia pada umumnya yang penting ritual pilkades berjalan lancar, juga tidak ada jerat hukum yang bersifat mengikat bagi pelaku money politics.
Risiko terburuknya adalah konflik horizontal antar pendukung dan menganggap pilkades tidak berjalan secara sportif. Pertanyaannya, mengapa money politics dalam pilkades tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana seperti halnya dalam pileg, pilpres maupun pilkada? Tampaknya sudah saatnya keadaban pemilu diturunkan hingga tingkat desa. Desa merupakan wilayah pemerintahan politik paling dasar dalam sistem pemerintahan di negeri ini.
Akhirnya, dalam rangka menuju desa yang berperadaban dan dipimpin oleh kepala desa yang berintegritas tinggi, money politics dalam pilkades sudah saatnya dikategorikan sebagai kejahatan pemilu. Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke tingkat pilkades. ●
Senin, 19 Agustus 2013
Langganan:
Postingan (Atom)
Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub