Rabu, 20 Juli 2016

FIKIH KEBENCANAAN




Fikih kebencanaan adalah upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bencana dari tiga aspek, yaitu aspek nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah/basic values), prinsip umum (al-usul al-kulliyyah/general principles), dan aspek praktis (al-ahkam al-far’iyyah/concrete rulings) yang berjalan dengan ajaran islam dalam menanggulangi bencana, baik sebelum, saat, maupun setelah bencana terjadi.
Bencana adalah kejadian yang mendatangkan gangguan serius dalam kehidupan manusia, dalam bahasa Al-qur’an dan Hadits dapat disebut dengan musibah. Bencana terkadang mengakibatkan kerugian, kerusakan (tadmir dan tamziq) atau lumpuhnya fungsi-fungsi sosial masyarakat (halak dan fasad) dan terjadinya kekacauan (fitnah). Bencana dapat menimpa siapa saja, baik orang yang berbuat dosa atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, maupun orang yang tidak berdosa (berbuat salah). Jika manusia yang berdosa ditimpa mudarat (kerugian) akibat bencana tersebut, maka bagi dirinya hal itu berfungsi sebagai iqab, nazilah, atau bahkan azab atas perbuatanya. Sedangkan bagi orang yang tidak berdosa dan mereka masih hidup bencana adalah bala, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka, dan adalah rahmat karena menjadi momentum untuk melakukan muhasabah dan perubahan kedepan. Adapun bagi yang meninggal akibat bencana sedangkan ia tidak bermaksiat kepada Allah, maka hal itu menjadi tangga untuk mendapatkan tempat yang mulia disisi Allah.
Karena bencana bisa merupakan ujian dan rahmat dari Allah, maka masyarakat harus menyikapai dengan positif, yaitu dengan tidak menyalah-nyalahkan atau memiliki prasangka negatif terhadap Tuhan dan juga orang yang terkena bencana. Sikap berbaik sangka kepada Allah juga harus diiringi dengan melakukan ikhtiar untuk melepaskan diri dari bencana dan tidak berputus asa dari rahmat Allah serta tetap memiliki semangat untuk bangkit kembali. Masyarakat yang menjadi korban bencana juga harus memiliki keyakinan bahwa ada solidaritas orang lain untuk dirinya. Tetap memiliki harapan masa depan atau optimisme hidup juga menjadi kata kunci dalam cara menyikapi bencana.
Bencana pada hakikatnya bukanlah bencana bagi orang yang terkena dampak langsung atau menjadi korban saja, tetapi juga bencana bagi pihak lainnya. Oleh karena itu, adalah kewajiban bersama bagi masyarakat untuk memberikan bantuan yang sesuai dengan standar minimum pemenuhan hak korban bencana. Konsep bantuan kemanusiaan untuk korban bencana bukan lagi merupakan sebuah kegiatan pemberian sumbangan balaka (charity) atau kegiatan yang berorientasi pada keinginan pemberi bantuan dan sekedar kebutuhan warga terdampak. Tetapi harus dilakukan dengan berorientasi pada pemberdayaan, pemenuhan hak-hak hidup manusia dan partisipatif dengan mengupaya kan kondisi-kondisi yang harus dicapai dalam semua aksi kemanusiaan supaya penduduk yang terkena bencana dapat bertahan dan pulih ke kondisi stabil dan bermartabat.
Pada saat bencana, masyarakat sering menemui kebingungan terkait pelaksanaan ibadah. Pelaksanaan ibadah pada saat bencana sesungguhnya dapat dilaksanakan diatas dua prinsip umum, yaitu prinsip kemudahan (taysir) dan perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi  ( tahayyuru al-ahkam bi taghayurri al-azzam waal-maka wa al-ahwal). Pada saat bencana, secara prinsipil kewajiban manusia terhadap Tuhan harus tetap dilaksanakan. Namun demikian, syariat Islam memberikan solusi kemudahan untuk pelaksanaanya. Islam tidak membebani kewajiban yang berada diluar kapasitas umatnya. Manusia hanya diminta untuk melaksanakan hak Allah sesuai dengan batas maksimal yang ia miliki (taqwallah ala qadri al-istita’ah)
Dana Zakat untuk korban Bencana
Allah telah menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam Al-qur’an. Allah Swt. berfirman:
۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orag-rang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah (9):60)
Ayat diatas memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganologikan sebagai golongan fakr miskin, dengan pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
Dari keterangan diatas, kiranya sudah dapat dipahami bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang (ghorimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, kurban bencana harus berhutang. (Sumber MTT dan LPB PP Muhammadiyah)

Tidak ada komentar:

Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub
Flag Counter