Senin, 23 November 2009

Patikraja Masa Kolonial Belanda 1 (Pemerintahan & Keamanan)

Dari hasil wawancara dengan nara sumber dan petilasan atau bekas-bekas peninggalan Belanda sejarah, maka dapat diambil kesimpulan tentang kondisi dan situasi Asistenan (Kecamatan) Patikraja pada masa "tempo doeloe" yang bisa menjadi motivasi kita semua yang bertempat tinggal dan juga bertanah kelahiran di dalam wilayah Patikraja untuk membangun desa atau daerahnya sejalan dengan tuntutan zaman yang selalu menuntut perubahan dan kemajuan.
Banyak nara sumber yang memberikan cerita keadaan masa "tempo doeloe” mengalami terlibat dalam tugas dan pekerjaannya dikala masih mampu, untuk itulah, perlu dari hasil dari wawancara, cerita, pengalaman mereka kita catat untuk dokumenter tertulis yang tentu saja banyak kekurangannya, tetapi setidaknya dapat untuk kenangan dan renungan warga Patikraja pada masa-masa yang akan datang.
Para narasumber berasal dari Sesepuh, Mantan Perangkat Desa, Para Veteran Pejuang Kemerdekaan, cerita-cerita penduduk setempat dan penyusun sendiri yang mengalaminya sejak zaman kolonial Belanda ± tahun 1940 hingga zaman-zaman Jperikutnya.
Dari cerita nara sumber Ki. H. llyas Mantan Bau Desa Notog dan Bp. Kastoedjan Hardjosewoyo (pensiunan Mantri Klasir), dijelaskan bahwa : wilayah Kecamatan Patikraja dahulunya merupakan Wilayah, yang berstatus Asistenan atau Onderdistrik yang dipimpin oleh seorang Asisten Wedono yang bertanggungjawab kepada Wedono Banyumas.
Asistenan Patikaja daerahnya sangat luas, terdiri dari 23 desa. Letaknya dari Utara berbatasan dengan Desa Pasirmuncang, dan Purwokerto. Batas timur Desa Kaliori, dan Sungai Serayu. Batas Selatan Desa Kalisalak dan Gambarsari, batas sebelah barat Desa Sidamulih dan Panusupan. Adapun nama-nama desanya sebagai berikut :
1. Desa Rawalo
2. Desa Kedungrandu
3. Desa Sidamulih.
4. Desa Patikraja.
5. Desa Pesawahan.
6. Desa Pegalongan
7. Desa Tambaknegara
8. Desa Sokawera
9. Desa Notog
10. Desa Wlahar Kulon
11. Desa Karangendep
12. Desa Wlahar Wetan/ Mromong
13. Desa Teluk
14. Desa Sawangan Wetan
15. Desa Kedungwuluh Kidul.
16. Desa Karangklesem
17. Desa Kedungwuluh Lor
18. Desa Tanjung
19. Desa Karanganyar
20. Desa Kalikidang
21. Desa Kedungwringin
22. Desa Karangnanas
23. Desa Sidabowa
Sekitar tahun 1928 wilayah Asistenan Patikraja berubah 13 desa yaitu desa-desa yang sekarang ini. Ibukota Asistenan Patikraja atau Onderdistriec Patikraja rumah dinasnya berkedudukan di Desa Patikraja tepatnya sebelah timur tikungan masuk ke Desa Patikraja, yaitu di daerah penggilingan padi utara kantor U.P.K Patikraja. Kemudian sekitar tahun 1931 pindah ke selatan ± 200 meter dari arah Masjid Besar Patikraja arah ke timur atau di Jalan Raya menuju. Banyumas, menghadap ke selatan sebelah utara jalan. Kemungkinan karena perkembangan sarana transportasinya yang semakin ramai dan keadaan lingkungan kurang mendukung terutama hal pengairan, maka ibukota di pindah ke Desa Notog.
Pemindahan itu dipandang lebih strategis karena selain udara sejuk berdekatan dengan pegunungan, aliran irigasi dan sungai pun baik, sehingga lingkungan kerja menjadi harmoni dan serasi.
Pertama-tama lokasi Asistenan Patikraja di sebelah timut tanah lapang Notog menghadap ke barat dengan pemandangan panorama indah yaitu menghijaunya hutan jati di pegunungan dan sekali-sekali terdengar, bunyi lengkingan lokomotif yang melintas di Stasiun SS (Staat Spoor Wagon) yang mulai beroperasi sekitar tahun 1916.
Selain pemandangan indah juga dihadapan kantor terbentang lapangan olahraga milik SS tempat keperluan upacara, olahraga dan kegiatan lainnya, misalnya komedi putar, pasar malam kecil-kecilan dan lainnya, memudahkan penduduk leluasa mengunjungi dan menontonnya.
Letak masing-masing desa sebagian besar berbatasan dengan jarak yang berjauhan, selain sawah membentang sebagai batas juga jalur yang sepi (istilahnya bulak) atau pegunungan yang sepi pula. Misalnya antara desa Notog dengan desa Tambaknegara diantaranya terdapat jalan menanjak yang sepi dan di kiri kanan jalan ditumbuhi pepohonan yang besar-besar menyeramkan. Antara desa Notog dan desa Patikraja, juga membentang sawah yang luas.
Antara desa Patikraja dan desa Kedungrandu juga terbentang sawah yang luas. Antaradesa Pegalongan dan desa Sokawera jaraknya jauh diantaranya terdapat sawah yangluas dan tepian kali Serayu yang sepi. Antara desa Kedungrandu dan desa Sidabowa terdapat perbukitan yang sepi, serta jalannya berkelok-kelok. Diantara desaKedungwringin dan desa Tanjung terdapat jalan tanjakan yang kiri kanannyaberbahaya. Sebelah selatan tebing yang curam, di utara kanan kiri perbukitan yangsangat rimbun dan lebat dari tumbuhan bambu yang menjurai ke jalan, menjadikanjalan raya itu gelap dan rawan kejahatan. Daerah itu dikenal dengan Tanjakan Pengasinan.
Keberadaan desa-desa yang terpisah dengan batas-batas yang rawan sering terjadi pembegalan atau penodong baik di siang maupun malam kepada pejalan kaki yang lewat. Begal adalah serupa dengan penodong yang bersenjatakan golok atau sejenisnya, dalam melakukan kejahatn sering berkelompok 3 orang.
Dengan terang-terangan mereka mencegat si korban dengan memaksa. Agar semua barang bawaan miliknya diserahkan. Korbannya menyerah begitu saja tanpa perlawanan dan tak ada seorangpun yang mau melapor kepada desa atau yang berwajib. Mungkin karena segan berurusan dengan Pelpulisi dan yang kedua tidak tahu kemana mereka mencari tempat mengadu.
Kebanyakan rumah tempat tinggl penduiduk masih sangat sederhana. Terbuat dari kayu dan bambu. Kayu sebagai tiang dan ramuan atau atas sedangkan pintu, dinding terbuat dari anyaman bambu. Sehingga kekuatan dinding dan pintunya sangat rentan terhadap keamanannya. Lantainya masih tanah biasa bagi yang tidak mampu. Bagi yang mampu tepian lantainya menggunakan batu padas sebagai penahannya.
Kondisi rumah yang demikian itu memudahkan pencuri masuk ke rumah dengan cara mencongkel pintu atau membuat galian di bawah dinding selebar badan yang hanya cukup untuk masuk dengan cara menerobos, dengan badan terlentang. Cara terlentang ini untuk mengantisipisi lingkungan rumah kalau-kalau yang punya rumah belum tidur. Bila berhasil masuk,semua benda disikat. Mencuri apa yang ada. Uang, pakaian, alat-alat masak, gerabah. Bahkan ayam pitikpun bisa dicuri kalau memang hanya itu adanya. Tak luput pula almari diacak-acak untuk mencari perhiasannya.
Biasanya yang punya rumah mengetahui kecurian sekitar hampir pagi, segera menyembunyikan kenthong tanda kecurian yaitu memukul dua kali dua kali berurut-turut. Tetangga desa lain bila mendengar ada tanda pencurian, mereka menyiapkan diri mencegat si pencuri kalau-kalau masuk desa mereka. Bila si pencuri bernasib sial bisa tertangkap oleh penduduk tetangga desa itu.
Aman tidaknya suatu desa tergantung kepada kewibawaan lurah dan pamong desa setempat. Bila lurahnya berwibawa dan pandai tentang siasat curi mencuri dan perangkat lainnya dapat diandalkan maka dapat dikatakan desa itu jarang terjadi pencurian.
Pencurian besar-besaran atau "nggarong" dilakukan oleh beberapa orang dan biasanya membawa kendaraan, misalnya kereta, gerobag dan sejenisnya, Yang digarong adalah benda-benda seisi rumah, hewan ternak atau padi jumlah besar. Biasanya penggarongan ini menimbulkan korban, baik pihak pencuri maupun yang punya rumah.
Untuk mengatasi ataupun mengurangi peristiwa kejahatan ini, ada beberapa yang berinisiatif unik, yaitu mengangkat seseorang yang berpengaruh, dan biasanya dari kalangan orang yang bertabiat jahat, untuk didudukan sabagai bau desa atau pulisi desa. Sehingga desa tadi disegani oleh para penjahat yang lain.
Perihal keamanan desa itu, menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh lurah dan perangkatnya. Asistenan tahunya hanya laporan kejadian serta barang bukti serta saksi yang digunakan untuk proses hukum selanjutnya. Tugas ini adalah kewajiban Mantri Pulisi beserta Breden dan Opas Asistenan.
Personalia Asistenan sangat sedikit, hanya tediri dari : Seorang Asistenan Wedono, Seorang Juru Tulis, Seorang Klerk atau dua orang saja, Seorang Mantri Pulisi, Seorang Breden, dua atau tiga orang Opas atau anggota Polisi Pamong Praja.
Asisten Wedono sebagai kepala wilayah Asistenan dibantu stafnya menangani bidang pemerintahan, sedangkan Mantri Pulisi beserta Breden dan anggota Polisi Pamongpraja atau Opas bertugas selain membantu pelaksanaan pemerintahan juga khusus menangani Bidang Keamanan Wilayah Asistenan.
Kewajiban lurah saat itu sangat mudah, hanya yang dipandang sangat vital, yaitu urusan pajak, urusan keamanan dan pengairan. Untuk pekerjaan lain ada petugas khusus yang didatangkan sewaktu-waktu bila dipandang perlu. Petugas tadi berasal Distrik atau Kawedanan. Antara lain Mantri Lumbung, Mantri Irigasi, Mantri Cacar, Mantri Malaria, Mantri Hewan, Mantri Klasir (Mantri Ukur), Mantri Kadaster (pertanahan), Mantri Lanbauw atau pertanian. Hanya Mantri Guru, Mantri Garam, Mantri Pasar dan Mantri Hutan yang menetap di tempat karena tugasnya yang tidak dipindah-pindahkan.
Masyarakat pada masa ini bisa digolongkan menjadi kelas-kelas masyarakat.
a. Golongan Amtenar atau Pegawai Belanda biasa disebut Priyayi. Bila menyebut namanya menggunakan istilah NDORO, misalnya ndoro mantri, ndoro siten dan sebagainya.
b. Golongan Pamong desa termasuk juga disebut priyayi, dengan panggilan kebiasaan Kiyai, misalnya Kyai Lurah, Kyai Penatus, Kiyai Bahu dan sebagainya.
c. Golongan petani di sebut Kuli karena mempunyai pekulen (garapan sawah) bagi mereka yang sanggup dan mampu membayar pajak. Golongan kuli ini yang mempunyai hak suara pada slapanan desa atau rembug desa, serta kewajiban kerigan (Kerja bakti) saluran irigasi dan jalan desa.
d. Golongan yang tidak punya disebut Rempo, yaitu tingkatan masyarakat paling bawah, kewajibannya kerja bakti atau Gugur Gunung.
Dalam cara memilih lurah pada masa itu masih sangat sederhana, tidak ada panitia, tidak ada kampanye, tidak ada pendaftaran yang memakan biaya banyak. Caranya unik yang dikenal dengan Pilihan secara Anggan. Anggan dari asal kata angga, yaitu 5 ikatan besar padi- yang disebut gedheng, dan setiap gedheng berisi 5 ikat kecil padi. Istilah "anggan" dipakai untuk menghitung pemilih yang mengelompok jadi satu, seperti kelompok himpunan tadi.
Adapun tata cara Pemilihan sistem anggan adalah sebagai berikut: Para Jago yaitu mereka yang mencalonkan diri ikut pemilihan, sudah mempersiapkan diri berada di pemilihan lurah. Biasanya bertempat di rumah atau halaman Kelurahan lama atau tempat yang cukup untuk penyelenggaraan pemilihan, misalnya di pasar desa.
Jago-jago duduk di panggung jago. Tanpa memegang tanda pilihan apapun juga. Dan penduduk yang mempunyai hak pilih tergantung atas kesepakatan rembug desa. Ada yang hanya dimiliki oleh kaum petani (golongan kuli) ke atas, atau hak memilih bagi setiap kepala keluarga atau yang sudah menikah.
Setelah Bapak Asistenan, Breden, dan dua orang Opas tiba di tempat pemilihan tidak lama kemudian pemilihan dilaksanakan. Pemilihan Lurah kadang kala juga didatangi Pejabat dari Distrik atau Wedana, yaitu Bapak Wedana dengan stafnya.
Kedatangan ndoro Wedana berkendaraan Ubluk atau sepeda motor bervespan, yaitu sepeda motor yang disertai tempat duduk di sisi kirinya menyerupai perahu kecil yang beroda satu. Hal ini biasa dilakukan bila jalan ke desa-desa dapat dilalui kendaraan beroda. Bila desa itu terisolir misalnya harus menyeberang kali atau sungai dengan sampan atau jalan mencebur ke air, perjalanan dilkakukan dengan menunggang kuda. Para Breden dan Opas mengendarai sepeda angin yang berlampu lentera.
Keberadaan para priyayi Kawedanan dan Asistenan sangat berpengaruh kepada jalannya pemilihan. Kondisi dapat tertib, aman dan lancar karena penduduk sangat menghargai dan pula mempunyai rasa segan dan takut kepada sosok-sosok priyayi di jaman itu. Apalagi didukung penampilan-penampilan wajah-wajah yang seram, mereka kebanyakan berkumis tebal, bertopi gabus, berpakaian seragam jas dan celana putih, bersepatu laras panjang atau menggunakan setriwel yaitu kain pembalut kaki bagian bawah sampai lutut di atas sepatunya. Untuk Breden dan Opas Asistenan berseragam kuning dril, di pinggangnya terselip pedang panjang sebagai senjatanya. Untuk ndara Wedana dan ndara Mantri Pulisi membawa pistol yang bagi penduduk desa merupakan benda yang dapat mematikan itu, yang tidak mungkin dimiliki oleh sembarang orang.
Prosesi pemilihan dimulai dengan memanggil penduduk yang mempunyai hak pilih seorang demi seorang untuk memasuki arena pemilihan yang dibatasi dengan janur kuning mengelilingi arena. Yang dipanggil dipersilahkan menunggu sambil duduk-duduk bebas atau mengelompok atau berdiri bebas asal tenang.
Selanjutnya setelah warga memilih seluruhnya masuk, perintah untuk memilih secara berkumandang.Untuk menjelaskan perintah menggunakan alat serupa terompet sederhana yang dibuat dari logam/seng berbentuk kerucut yang ujungnya berlubang, ditempelkan ke mulut. Dari terompet ini terdengar suara lantang pertanda saatnya menentukan pilihan masing-masing.
Begitu diumumkan untuk memilih, dengan cepat para pemilih bergegas menuju kemana tempat jago-jago pilihan, kesemuanya mengelompok, mengelilingi masing-masing tanpa ragu Opas tiba di tempat pemilihan.
Kemudian para pemilih disuruh jongkok secara antri, setelah tertib mulai dihitung perantrian masing-masing jago bergantian. Sebenarnya kalau dilihat sudah jelas benar mana yang dapat pemilih paling banyak kelihatan pada panjangnya antrian pemilih. Tetapi demi untuk diumumkan maka harus dihitung berapa jumlahnya. Yang banyak ditetapkan sebagai pemenang.
Pengumuman siapa yang berhasil menang dalam pemilihan lewat corong sederhana oleh ndoro Mantri Pulisi setelah disetujui oleh ndoro Wedana atau ndoro Asisten Wedono. Malamnya diadakan keramaian, dan syukuran. Selanjutnya lurah baru berhak mengganti perangkat yang dipandang perlu, yaitu pergantian Pulisi Desa, Kebayan atau Bau Desa. Hanya Carik tidak dapat diganti langsung, harus persetujuan ndoro Wedana atau ndoro Asisten Wedana karena jabatan Carik adalah Jabatan penting untuk urusan Administrasi Pemerintah Desa yang harus memiliki oleh seseorang yang pandai yang ditunjuk oleh Pemerintah Belanda kala itu.
Lambat laun perkembangan jumlah penduduk dan hak suara atau hak pilih dengan batasan yaitu umur 17 tahun, sudah kawin dan tidak menjalani hukuman, maka sistem ANGGAN ini berubah dengan sistem "BITHING" yaitu lidi dibuat dari bambu yang diberi warna khusus, kira-kira panjangnya 15 cm.
Adapun caranya, setiap bilik tempat memilih disediakan ikatan "bumbung" yaitu potongan ruas-ruas bambu yang dilubangi atasnya diikat masing-masing ikat 5 potong. Satu bilik diisi sejumlah ikatan bumbung sesuai dengan jumlah jago yang bertarung mengadu nasib sebagai Calon Lurah. Setiap ikatan diberi tanda simbol yang berbeda. Ada yang janur kuning, daun tebu, ikatan padi, buah jagung dan batangnya, bahkan kalau jagonya sampai 5 atau lebih bisa menggunakan bunga pisang atau jantung, dan dondong dan sebagainya.
Bila waktu pemilihan sudah sampai batas tertentu, dan pemilih diperkirakan sudah melaksanakannya haknya semua, ikatan-ikatan bumbung dikumpulkan, dikelompokkan sesuai dengan tanda yang diikatkan itu. Kemudian setiap kelompok bumbung yang bertanda sama mulai dipecah satu persatu dan bithingnya dihitung jua. Pemenang adalah yang mendapat bithing yang paling banyak.
Tidak jarang ada bumbung yang berisi puntung rokok. dimasukan oleh pemilih yang tidak senang kepada musuh jagonya. Tidak hanya satu atau dua puntung rokok saja, bisa sampai lima atau sepuluh batang setiap bumbungnya. Padahal panitia sudah melarang setiap pemilih bila masuk ke bilik diminta jangan merokok tetapi dasar orang, bila dilarang malahan sengaja melakukannya demi kepuasan hatinya bila tersalur untuk melecehkan orang yang tidak disenanginya. Mungkin dia masuk sambil mengantongi puntung rokok saja.
Lurah-lurah pada zaman kolonial Belanda menjabat sampai seumur hidup. Sebagai contoh pernah ada lurah di desa Pesawahan yang usianya hampir 80 tahun lebih disegani oleh rakyatnya.
Sistem bithing ini sudah mencerminkan kerahasiannya pemilihan. Sehingga setiap pemilih bebas dan rahasia dalam memilih jagonya. Tidak merasa ragu-ragu atau takut kepada jago yang tidak disenanginya. Pergantian sistem bithing ke sistem gambar simbol kira-kira tahun 1977 sejalan dengan peraturan yang mengharuskan lurah/kepala desa setelah mencapai 60 tahun harus mengundurkan diri dari jabatan, dan harus memilih kepala desa baru.
Sistem gambar simbol caranya dengan mencoblos gambar simbol, misalnya gambar kelapa, padi, jagung, ketela dan sebagainya. Dari gambar simbol berganti dengan menggunakan foto masing-masing jago hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub
Flag Counter