Senin, 23 November 2009

Patikraja Masa Kolonial Belanda 2 (Ekonomi & Perdagangan)

Selama hampir 3,5 abad Belanda menjajah bumi nusantara mendatangkan keuntungan yang besar bagi “Negeri Kincirangin” ini. Sejak rempah-rempah. hasil bumi sampai dengan barang tambang/galian bisa memakmurkan Negeri Belanda. Untuk itulah Tweede Kammer (Majelis Rendah Pemerintah) Negeri Belanda mengusulkan untuk membalas budi kepada rakyat di jajahan Hindia Belanda dengan cara politik yaitu yang dikenal dengan politik Etis atau politik Balas Budi.
Isi politik Etis dititik beratkan kepada 3 bidang tujuan agar kemakmuran dan taraf berfikir rakyat jajahan meningkat. Adapun bentuk Politik Etis adalah : Pertanian/Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi. Maka pada sekitar tahun 1910 dimulailah membangun DAM bendungan irigasi, pemindahan penduduk ke daerah yang jarang penduduknya, mendirikan sekolah di ibukota Asistenan sampai kelas 5 dan desa sekitarnya sampai kelas 3 saia.
Dengan di bangun DAM atau bendungan, maka jaringan irigasi dapat mengoncor persawahan menjadi dua sektor. Sektor I yaitu bagian timur berasal dari bendungan Kali Kranji di tengah kota Purwokerto, mengairi sawah sejak dari Karangklesem, Teluk, Tanjung, Kedungwringin, Sidabowa, Kedungrandu, Patikraja, Pegalongan, Sokawera, Walahar Kulon dan berakhir di Wlahar Wetan (Mromong) sejauh 24 km. Sektor II Bagian Barat berasal DAM bendungan kali Logawa di desa Danasri lama, mengaliri sawah sejak Karanganyar, Kedungwuluh Lor, Kedungwuluh Kidul, Notog ± sejauh 14 km. Bendungan Danasri lama mengalami kerusakan berat akibat banjir besar sehingga pintu airnya dengan permukaan kali Logawa sangat dalam.
Tidak mengherankan lagi, semenjak adanya irigasi pertanian di wilayah Patikraja hasil padinya berlipat ganda. Yang tadinya hanya bisa panen setahun sekali, menjadi setahun 2 kali panen. Tanah yang subur menjadi lebih meningkat hasilnya baik pada musim hujan maupun kemarau. Sedangkan tanah yang kurang subur dapat juga panen 2 kali dalam setahun tergantung pada pengaturan penggarapannya. Untuk desa-desa yang tidak mendapat aliran irigasi, kebutuhan air baik musim hujan maupun kemarau selalu cukup karena dikala itu hutan dan pegunungan masih terpelihara dengan baik, hutan jati maupun kayu-kayu lainnya masih utuh dan besar-besar pula, sehingga dapat menyimpan cadangan air hujan
Tetapi pada umumnya petani di musim kemarau menggarap sawahnya dengan menanami palawija atau tembakau bahkan diminta juga untuk menanam tebu, untuk mencukupi pasokan Pabrik Gula Purwokerto dan Kalibagor dengan sistem kontrak.
Kemakmuran hasil pertanian dengan sistem irigasi ini bisa merubah taraf hidup penduduk, dengan adanya pengusaha-pengusaha orang Belanda yang mendirikan perusahaan atau Onderneming. Misalnya Onderneming Tembakau. Di Patikraja terdapat gudang penampungan tembakau dari hasil membeli dari tembakau rakyat. Tembakau itu diolah dan disimpan agar mutunya lebih bagus bila dipasarkan. Seorang Mandor Tembakau yang terkenal kala itu bernama Ki Tirtareja.
Begitu pula dibangunnya pabrik gula Kalibagor dan Purwokerto, mendatangkan keuntungan ekonomi bagi penduduk atau petani tebu. Mandor Tebu yang terkenal kala itu ialah Ki Kartadikara, seorang mandor yang sangat disegani oleh kaum petani.
Bukan hanya para petani saja yang mendapat keuntungan dari para pelaku bisnis dari orang Belanda, juga rakyat kecil yang tidak memiliki sawah pekulen juga bisa hidup dengan jalan bekerja sebagai buruh tembakau atau buruh tebu. Karena memiliki pekulen harus penduduk yang beruang untuk membayar pajak tanah dan mau menjadi tokoh masyarakat dalam rembug desa. Kantor PBB waktu itu disebut Landrete (Kantor Pajak Tanah). Mantri Pajak Tanah yang berasal dari desa Notog ada dua orang. Seorang menjadi Berherder atau Kepala Kantor Landrete Cabang Purwokerto dan Pekalongan berkedudukan di Purwokerto yang bernama Ki Harjowarsono. Ki Siswowardoyo, Kastudjan Hardjosewoyo juga putra Notog yang menjadi Mantri Ukur pada Kantor Landrete Pekalongan, Banjarnegara dan Banyumas serta Cilacap.
Dari perkembangan perekonomian yang pesat ini, di desa Notog berdiri pasar tradisional yang lokasinya mula-mula di sebelah selatan Setasiun KA Notog, \dikenal dengan nama Pasar Pon. Tetapi karena di lokasi itu kurang strategis disebabkan mulai adanya jalur kereta api SS dan tanah lapang milik SS (sekarang PN KA). Maka Pasar Pon pindah lokasi yaitu di pertigaan Notog, tepatnya di sudut sebelah selatan yang sekarang menjadi kios-kios, kantor pos dan kantor kecamatan serta Puskesmas Notog. Pemindahan kira-kira pada tahun 1920 dan karena kalah bersaing dengan pasar Patikraja maka pasar Pon semakin lama semakin sepi, matinya Pasar Pon Notog kira-kira tahun 1947.
Selain perdagangan yang berupa hasil bumi, juga pemasaran hasil barang galian, terutama kapur bangunan dan pawon (tungku umtuk memasak). Ada lagi barang galian batu andesit yang dibuat ciri, uleg-uleg, lumpang (tempat menumbuk kopi dan sejenisnya) serta ubin sebagai lantai rumah beserta umpak (batu penyangga tiang rumah). Usaha kerajinan bambu sangat besar, berwujud keranjang kapur, tabag (anyaman bambu untuk dinding dan langit-langit rumah), serta bambu untuk pagar pekarangan yang disebut glathak.
Produksi kapur bangunan berpusat di desa Notog grumbul Kalirajut sebagai penghasil kapur di daerah itu. Daerah lain yang menghasilkan batu kapur adalah desa Mandirancan dan grumbul Garbi desa Tumiyang. Di Kalirajut dan Mandirancan banyak tungku pembakaran kapur yang biasa disebut pengiwon, jumlahnya sampai puluhan.
Banyak pedagang dan produsen kapur yang berhasil dan dapat menyekolahkan anak-anak sampai ke kota Purwokerto dan Banyumas, yang akhirnya dapat menjadi tokoh-tokoh pejuang dalam kemiliteran dan pejabat-pejabat yang sukses.
Nama-nama yang bisa menduduki jabatan-jabatan penting baik disipil maupun militer akan dijumpai pada haman-halaman selanjutnya.
Kesuburan tanah pertanian akibat lancarnya irigasi menghasilkan padi yang berkualitas yang disebut padi jenis lokal. Ada dua macam jenis padi. Padi jero yang tumbuh subur di lahan yang subur dengan pengairan cukup dan jenis padi cerai yang di tanam di lahan yang kurang mendapat air.
Jenis padi jero nama-namanya adalah : Gandama, Arjuna, Raja Lele, Menthik Wangi, Jokobolot, Pendhok Wesi dan lain-lain. Adapun jenis padi cerai adalah Kenyol, Melathi, Licong, Konyal, Kasur, Gadis, Ketel, Ketam Gudel dan lain-lain masih banyak lagi. Dari desa Teluk dikenal dengan makanan Ketan Teluk. Beras yang dipakai sebagai bahan makanan ketan dari jenis Ketan Kunir, Ketan Lumbu dan Ketan Ireng yang kesemuanya dari jenis Padi Jero, selain aromanya harum rasanyapun lezat dan lembut.
Masyarakat masih asing makanan dari gandum terutama roti hanya dikonsumsi oleh para priyayi, apalagi minum susu belum terbiasa. Makanan yang dikonsumsi masyarakat kala itu hanya dari umbi-umbian, makan daging katanya hanya jarang sekali setidaknya setahun sekali atau kalau ada hajatan. Koiam-kolam ikan banyak terdapat di daerah irigasi, bahkan di daerah pegunungan banyak kolam-kolam ikan. Tidak hanya ikan yang terpelihara di kolam saja, tetapi ikan di sungaipun masih banyak sekali, baik yang besar-besar maupun yang kecil-kecil; seperti udang, boso, impun, sedangkan yang besar misalnya wader, melem, tambra, penyu sampai pelus sepanjang 5 meter dan sebesar batang jambepun ada. Kesemuanya bisa berkembang biak disebabkan pertama masih ada kedung (bagian dasar sungai yang dalam), kedua airnya masih bersih belum tercemar dan yang ketiga pelarangan dari Pemerintah Belanda sungguh ketat, dilarang mengambil ikan dengan cara meracun, ataupun menggunakan alat-alat yang membahayakan. Bila melanggar dan sampai ketahuan hukumannya berat..
Berdasarkan pengamatan pula ternyata pertanian terutama tanaman padi terdapat juga di lereng-lereng pegunungan dengan adanya bekas pematang-pematang sawah disitu. Misalnya Gunung Klentheng, Gunung Kembar. Cilaku, Kedungpasang, Lebak Larwoga, Pagergunung dan deretan pegunungan Serayu (daerah Mandirancan).
Data-data ini membuktikan bahwa masyarakat di kala jaman akhir Pemerintahan Kolonial Belanda ternyata sungguh makmur dalam hal bahan makanaan, tetapi tertinggal dalam bidang pendidikan.
Dalam sektor perdagangan di Wilayah Patikraja belum ada pengusaha berskala besar masih pada taraf pedagang-pedagang kecil. Hasil pertanian yang dipasarkan, ialah gula kelapa, tembakau, sayur-sayuraa, kacang-kacangan, kedelai, umbi-umbian dan tidak ketinggalan padi untuk dijual ke tengkulak maupun pabrik-pabrik penggilingan padi. Petani penderes yang cukup banyak yaitu desa Kedungwuluh Lor, Kedungwuluh Kidul, Karangendep, Sawangan, Wlahar Kulon dan Mandirancan.
Bentuk cetakan gula jawa masih besar-besar, kira-kira selebar ban roda vespa, kemasannya per lima lempeng menjadi satu susunan dan dibungkus dengan daun kelapa kering. Setiap kemasan di sebut bonjor. Kemudian bentuk cetakan makin ke sini makin berubah, menjadi bentuk gula bumbung kecil-kecil dengan kemasan peti kayu berisi 10 kg.
Hasil panen tembakau selain dikonsumsi sendiri biasanya di jual ke pengepul tembakau di desa Patikraja arah ke jurusan Banyumas. Kebiasaan masyarakat dalam menghisap rokok mengkonsumsi tembakau tanaman sendiri atau pemberian dari tetangga. Tembakau diberi bumbu kemenyan, klembak dan dilinthing dengan pembungkus daun jagung muda atau daun pisang kering. Mereka belum mengenal sigaret kretek dan belum ada yang merokok karena membeli. Paling-paling hanya membeli kemenyan dan klembak sebagai pelengkap bumbunya.
Kapur bahan bangunan dari desa Notog dikenal jauh sampai daerah Klampok, Bukateja, Sokaraja, Purwokerto dan Banyumas. Masyarakat di daerah-daerah tersebut memerlukan untuk banguna rumah dan ada kalanya pesanan dari pabrik-pabrik mie, tepung tapioka dan gedung-gedung perkantoran dalam jumlah banyak.
Batang bambu pemasarannya ke daerah Sampang, Maos bahkan sampai ke Cilacap. Ada pula yang ke Purwokerto untuk pagar-pagar pabrik mie atau tapioka.
Banyak penduduk di wilayah Patikraja yang ditransmigrasikan ke pulau Sumatera, terutama ke Aceh, Deli dan Lampung. Ada yang secara legal dan adapula dengan cara ilegal. Sayangnya mereka yang dipindahkan tidak mengadakan komunikasi di mana keberadaannya, sehingga transmigrasi ini menjadi momok masyarakat lainnya. Apalagi yang kepergiannya dengan cara ilegal. Banyak pemuda atau gadis yang di tipu, di bawa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk di jual kepada Tuan-Tuan Onderming, semacam kasus budak belian atau tenaga kerja paksa. Mereka banyak dipekerjakan pada tambang batu bara Umbilin Sawahlunto, Perkebunan Lada di Lampung, bahkan ada yang berada di Suriname (Amerika Selatan yang menjadi Koloni Belanda). Beberapa contoh keberadaan mereka ada kisah dari keluarga ditinggalkan setelah pada jaman kemerdekaan dapat berkomunikasi ke tanah air. Diantaranya orang tua Bpk. Tamiarja mantan penjaga SD Notog 1 yang orang berada di Suriname. Setelah anaknya ternyata masih hidup, sering mendapat kiriman barang atau uang dari Suriname. Kurs mata uang Suriname memang lebih tinggi dari pada uang RI.
Satu lagi cerita pengalaman keluarga yang pulang dari Sawahlunto, orangtuanya sewaktu masih bujangan dibawa oleh seorang tanpa sepengetahuan orang tuanya. Istilahnya diculik oleh Werek Deli. Pemuda tadi dipekerjakan sebagai penambang batu bara di TB. Umbilin. Sebagai kuli dengan upah rendah bekerja selama 15 tahun. Setelah berkeluarga dan dinilai pekerjaannya baik dinaikan pangkat sebagai mandor. Pada waktu kemerdekaan dia diangkat sebagi Pemimpin Pekerja TB. Umbilin dan mengorganisasikan perkumpulannya.
Naas bagi pemuda tadi sewaktu pecah G/30S/PKI dia terbunuh oleh Pemuda Rakyat PKI karena dianggap sebagai musuh politiknya. Akhirnya keluarganya pulang ke Kedungwuluh Lor dan menetap di desa kelahiran orang tuanya. Keturunan orang tersebut yaitu seorang perempuan bernama Sundari dan seorang lelaki bernama Bambang.
Para orang tua dengan adanya penculikan ini sangat prihatin atas keselamatan anak-anaknya, sehingga setiap anak-anak pergi bermain mesti dinasihati jangan jauh-jauh atau pulang malam kalau-kalau ada culik atau ada werek (werek berasal dari kata work = kerja) bahkan jadi wewe. Biasanya anak-anak zaman itu masih patuh kepada omongan orang tua. Lain sekali dengan zaman sekarang, jauh berbeda sikap anak terhadap orang tua.
Masyarakat saat itu sudah menggunakan mata uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pertama-tama keluar mata uang logam yang disebut uang gobog bentuknya persegi empat terbuat dari logam tembaga. Peredaran ini berakhir kira-kira tahun 1900. Kemudian keluar uang pengganti berupa uang logam untuk pecahan sen sampai gulden yang berhuruf sama dengan rupiah. Dan uang diatas f.l, 00 berupa uang kertas bergambar Ratu Belanda dan pada setiap sudutnya tertera nilai nominal setiap lembarannya. Warnanya coklat, putih kekuning-kuningan dan warna biru cerah.
Untuk uang pecahan yang dikenal uang receh terdiri dari uang logam kepingan. Dibuat dari bahan logam tembaga dan perak yang campuran timah putih. Nilainya dari yang paling rendah : 0,5 sen disebut juga serini, 1 sen, 2,5 sen disebut juga sebenggol. Macam ini dibuat dari tembaga campur besi.
Nilai 5 sen biasa disebut juga sekelip, 10 sen disebut sekethip, 25 sen disebut setali dan 50 sen dibuat dari aluminium dicampur dengan besi putih.Nilai 1 rupiah (f. 1, 00), 2,5 rupiah (f. 2, 50) disebut 1 ringgit. Mata uang rupiah atau gulden dibuat dari emas 22 karat. Uang logam emas ada 2 macam, pertama yang bernilai f. 0, 25 atau setali dalam bentuk emas disebut talen.Yang kedua bernilai f. 2, 50 disebut ringgit, oleh masyarakat disebut bagong.
Baik talen maupun bagong banyak dimiliki oleh petani yang mampu sebagai kebanggaan, menunjukan bahwa yang mempunyai banyak uang emas menandakan orang kaya. Apalagi kalau talen dan bagong dibuat hiasan sebagai tusuk sanggul (cunduk mentul) atau sebagai bros semacam hiasan kancing baju dirangkai dengan untaian emas yang dipasang pada baju kebaya sejak dari leher sampai ke pusat. Jumlahnya sampai 4 atau 6 buah talen atau bagong menunjukan tingkat kekayaan mereka. Bukan kaum wanita saja yang menggunakannya namun kaum laki-laki tidak mau ketinggalan cara menggunakannya dipasang pada ujung rantai jam saku atau sebagai kancing baju jas. Jumlahnyapun tergantung makin kaya tidaknya si pemakai.
Lucunya kalau talen dan bagong dijual harganya melebihi nilai uang bendanya. Sebuah talen yang nilai nominalnya f.0,25. Bisa laku sampai f.l,00 dan sebuah bagong yang nila nominalnya f.2,50 bisa laku f.5,00 bahkan lebih. Mengapa demikian karena jumlah peredaran uang logam emas tadi sangat terbatas, jarang untuk alat pembayaran dalam transaksi jual beli. Masyarakat dapat memiliki dengan cara membeli ke toko emas atau memang dari uang gaji dari Pegawai Belanda yang berkedudukan tinggi.
Harga pasaran bahan makanan terutama beras pada tahun 1940 2,5 kg atau 1 barong hanya f.0,025 (dua setengah sen atau sebenggol). Gaji seorang juru tulis hanya f.l5,00 (lima belas ribu rupiah) berarti seorang pegawai Belanda yang bergaji rendah yaitu seorang opas f.l0,00 (sepuluh perak) bisa membeli beras sebanyak 400 kg atau 4 kwintal beras. Maka banyak pegawai pribumi yang hidupnya berkecukupan, bisa menyekolahkan anaknya, membangun rumah berlantai tegel dan berdinding papan atau tembok.
Untuk hasil pertanian lainnya harga pasaran lebih rendah lagi. Dulu ukuran jual tidak menggunakan ukuran kiloan, tetapi cara onggokan (seonggok = seumbuk) baik kentang, cabai atau kacang dan kedelai. Jagung ukurannya pocongan atau gedengan, selain jagung pipilan yang menggunakan ukuran bekong, kuthuk. atau barong.
Masyarakat juga memproduksi minyak goreng dengan cara tradisional, yaitu parudan kelapa dikukus, ditutup beberapa hari sampai lembek. Kemudian di wiwir dan di jemur dan akhirnya diperas (dikamplong) sampai keluar minyaknya.
Ada lagi cara membuat minyak goreng yaitu setelah kelapa di parut kemudian di ramu dengan campuran lumatan ikan yuyu (ketam) hingga setelah lama jadi membusuk. Selanjutnya di jemur sampai kering. Proses lanjutnya sama dengan memeras seperti cara pertama. Hanya aroma kedua proses itu hasilnya berbeda. Bila di kukus aromanya sedap tetapi tidak tahan lama, tetapi kalau tanpa di kukus dan hanya di campur dengan lumatan ikan yuyu aromanya agak tidak sedap tetapi tahan lama. Kedua jenis ini di sebut "minyak bothok". Ampas minyak bothok bisa digoreng kecil-kecil dapat dimakan sebagai lauk pauk yang di sebut bungkil.
Cara pemasran minyak ini tidak mengunakan ukuran liter dan kiloan tetapi mengguntakan ukuran botol yang disebut cengkli dan sopi yang bentuknya persegi botol minuman keras.
Untuk penjualan eceran menggunakan canthing. Penjualan yang agak banyak menggunakan cengkli dan sopi. Pada botol sopi pada tengahnya melingkari botol di beri anyaman bambu kecil dari tengah ke bawah. Jadi bila ada pembeli yang hanya membeli 0,5 sopi penjual melayaninya dengan mengisi minyak sampai setengah. Agar meyakinkan setelah sopi diisi setengah, kemudian disumbat dengan jari serta sophya dibalik, atas untuk bawah. Nanti akan nampak permukaan minyaknya pada garis pembatas dari anyaman bambu pada sopi. Lucu lagi bagi pedagang minyak goreng eceran. Umumnya tempat minyak dibuat dari kulit lembu atau impes (kanthong perut besar hewan lembu) dibawa penjual dengan digendong dengan selendang.
Para pendatang bangsa Tionghoa dari kota yang sudah banyak ikut berjualan dengan cara berkeliling ke pelosok desa, teutama ke daerah yang agak jauh dari pasar, misalnya Karangendep, Cilaku, Kedungwuluh Lor, Sokawera dan Wlahar Kulon. Pedagang keliling ini kebanyakan dari Banyumas. Bawaannya di pikul sendiri atau di pikul orang upahan. Yang dijual adalah kebutuhan harian misalnya : sabun, minyak kayu putih, ikan asin, garam dapur, kemenyan, klembak, sentel yaitu klembak satu sen satu buntel, batu korek api dan masih banyak lagi benda keperluan dapur dan keperluan/kebutuhan wanita. Karena setiap macama barang yang dijual dikemas kecil-kecil dengan bungkusn kertas kaca yang disebut dengan kata "racikan" yang artinya sudah diracik atau sudah dipersiapkan dengan praktis, maka pedagang Tionghoa atau bangsa Cina bisa disebut Cina Craki. Menjualnya dapat dengan cara tunai atau kredit dengan uang pertama semampu si pembeli. Menagihnya menggunakan pasaran, misalnya setiap hari Manis, Pahing, Pon, Wage atau Kliwon, sesuai dengan jatah waktu Cina Craki datang ke desa pembeli. Bila menagih disebut mendreng, maka timbul istilah untuk sebutan seseorang penagih hutang yang cerewet seperti cina mendreng.
Selain pedagang cina craki yang berkeliling, sudah ada pula yang menetap di desa. Di desa Notog ada beberapa keluarga Tionghoa yang menetap membuka usaha bengkel sepeda yaitu babah Lam Siong, membuka usaha perusahaan batik yaitu babah Gan Too, Anggin toko kelontong dan kebutuhan rumah tangga yaitu babah Moo Hun, reparasi jam yaitu babah Yang Hien. Di Patikraja toko sepeda babah Bankiong dan babah Wan Kick. Dengan adanya perusahaan batik menumbuhkan minat kaum wanita yang bekerja sebagai buruh membatik maupun pekerjaan mencelup dan mewarnai kain. Sehingga kaum wanita di daerah setempat dan sekitarnya pandai membatik terutama batik Banyumasan.
Tertarik oleh daerahnya yang tenang, asri dengan pemandangan pegunungan menghijau, dekat dengan stasiun kereta api dan tanah lapang yang cukup untuk berolah raga, maka orang Belanda atau inlander banyak yang menetap di Notog. Mereka yang menempati gedung bangunan Belanda yaitu tuan Pitales seorang kepala stasiun, tuan Plem Boosh suami nyonya Supinah seorang Belanda pula. Dan juga tuan Moutry mempunyai tanah yang luas untuk pertanian dan perkebunan di Cilaku, Adapun rumah-rumah gedung mereka sekarang digunakan untuk rumah dinas atau rumah pengusaha.
Rumah Tuan Moutri sekarang digunakan untuk Kantor Polsek Patikraja. Rumah Tuan Pytales sekarang menjadi Rumah Sakit Wisnu Husada. Rumah Tuan Plem Booch ditempati oleh keturunannya karena beristri orang Jawa. Rumah Tuan Eyer di Patikraja. Rumah Tuan Manot ditempati Koramil Patikraja. Rumah Tuan gala Cumbay di sebelah timur lapangan Notog. Pernah untuk Kantor Asistenan Patikraja. Rumah Tuan Ramses dan Tuan Banker bangunannya sudah dirubah dan letaknya berdekatan dengan RS. Wisnu Husada sekarang. Orang-orang Belanda ini mempunyai Anjing Helder yang buas, untuk menjaga rumah kediaman. Bila ada pribumi yang mendekati rumah Belanda tentu anjing Herdernya menyalak dengan ganasnya.

Tidak ada komentar:

Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub
Flag Counter