Rabu, 13 Januari 2010

Zaman Pendudukan Jepang

Para sesepuh sering mengingatkan kita kepada primbon atau jangka jayabaya. Diantara jangka Jayabaya salah satunya mengatakan : “besuk nuswantoro iki bakal tekan marang jaman kamardikan, yen wis ono tumapake ratu adil cebol kepalang, tekane soko lor wetan suwene mung sa umur jagung.”
Dalam artian bebas kira-kira : Indonesia akan merdeka setelah ada pemerintahan orang kate, yang datang dari Timur Laut. Lama pemerintahannya hanya selama waktu umur jagung (3,5 bulan)
Jangka Jayabaya tadi ternyata benar-benar terbukti dengan datangnya Tentara Dae Nippon (Jepang) menduduki kepulauan Indonesia dalam kurun waktu 3,5 tahun. Bentuk fisik orang Jepang memang masih pendek-pendek, tingginya rata-rata 150-160 cm berkulit kuning.
Sifat dan system militerisme dalam pendudukan Jepang membawa perubahan yang sangat drastis dalam seluruh segi-segi kehidupan. Sejak dari pemerintahan, kependudukan, sosial ekonomi sampai kebudayaan serta bahasa sangat terasa sekali. Banyak timbul masalah sosial yang diderita rakyat banyak.

A. KONDISI PEMERINTAHAN DAN KEAMANAN
Sistem pemerintahan Militer dilaksanakan oleh Pemerintahan Pendudukan jepang dengan sangat keras. Nama jabatan diganti dengan nama istilah bahasa Jepang :
a. Asisten Wedana diganti nama dengan sonco.
b. Wedana/Penghubung Bupati diganti nama dengan gunco.
c. Bupati/Kepala Daerah diganti nama dengan kenco.
Pembentukan kelompok RT sudah dimulai sejak jaman Pendudukan Jepang dengan nama tonarigumi. Ketua Tonarigumi disebut cumico. Istilah kepangkatan militer diganti juga antara lain:
a. Seorang Komandan Regu harus berpangkat Sersan diberi nama Jepang budanco.
b. Komandan Seksi (Danki) yang berpangkat Letnan diganti dengan nama Jepang soudanco.
c. Komandan Kompi harus berpangkat Kapten diganti dengan nama cudanco.
d. Serta Komandan Batalyon berpangkat Mayor diganti nama menjadi : daidanco.
Untuk pertahanan sipil disusun pula barisan semacam hansip yang dikenal dengan nama keybodan (pembantu polisi) serta yang setara dengan hanra dikenal dengan istilah seinendan (barisan pemuda). Di setiap desa ada anggota yang ditunjuk sebagai Seinendan maupun Keybodan dengan latihan militer secara rutin dipimpin oleh tentara Jepang. Persenjataan Seinendan ini menggunakan senjata Bambu runcing.
Di medan perang terutama di garis depan tentara Dae Nippon sangat membutuhkan pasukan yang tidak sedikit untuk menghadapi pasukan musuh Inggris dan Amerika atau Tentara Sekutu.
Tentara Dae Nippon mendidik para pemuda terutama mengambil dari Keybodan dan Seinendan yang memenuhi syarat kesehatan fisiknya dan pendidikannya untuk dilatih menjadi tentara yang disebut heiho. Yang lulus diberangkatkan ke garis depan, medan perang. Yang gagal bukan dikembalikan ke desa asalnya, tetapi dijadikan pekerja paksa yang disebut romusha. Mereka dipekerjakan di luar Jawa. Ada yang ke Kalimantan, Birma dan Malasyia. Banyak diantara mereka tidak pulang ke tanah air karena akibat kerja paksa dan siksaan yang kejam dari Tentara Dae Nippon itu.
Dari wilayah Patikraja ada beberapa orang ex heiho diantaranya Bp. Sikam dari Notog beserta teman-temannya yang terdaftar dalam lampiran berikutnya. Mengingat Pemerintah Kependudukan Jepang hanya memikirkan kepentingan pertahanan untuk menghadapi musuh besarnya, maka pengendali keamanan dalam negeri kurang mendapat perhatian khusus. Maka di sana sini, di desa-desa timbul tindak kejahatan yang dilakukan oleh penjahat-penjahat berupa Garong, Pencurian, Penodongan dan kejahatan lainnya.
Untuk menanggulangi kejadian-kejadian hanya tergantung kepada kemampuan desa setempat dalam menjaga keamanan desa masing-masing. Namun bila seseorang penjahat dapat tertangkap dan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, tentu di bawa ke kantor kempetai serupa dengan Polisi Tentara untuk diadili. Pengadilan itu biasanya tidak manusiawi. Terdakwa mendapat hukuman penyiksaan di luar perikemanusiaan. Antara lain siksaan di jemur di panas matahari. Dimasukkan ke dalam sel tahanan tanpa diberi makanan yang layak. Atau disiksa dengan pemukulan dan tendangan dari para kempetai.
Sebenarnya Pemerintah Dae Nippon (Jepang) pada awalnya bersikap ramah. Mereka menyebar luaskan ajakan yang simpatik berupa propaganda atau slogan-slogan yang mengajak ke arah persatuan menuju kepada rasa nasional atau kebangsaan. Misalnya slogan yang berbunyi :
- Asia untuk bangsa Asia,
- Nippon cahaya Asia,
- Nippon saudara tua kita,
- Indonesia pasti Merdeka dan lain-lain.
Namun karena makin lama di medan perang selalu menderita kekalahan akibat Amerika Serikat melibatkan diri masuk ke dalam Tentara Sekutu, maka akhirnya Tentara Jepang terdesak dan perlu mempertahankan diri mati-matian. Akibat kegagalan itu, tindakan kasar dan kekerasan dengan sasaran penduduk sebagai pelampiasan kekesalan, dilakukan dimana-mana.
Dengan situasi yang demikian mulailah penduduk kurang simpatik kepada pemerintah pendudukan Jepang itu. Mulai timbul rasa nasionalisme. Masyarakat di seluruh desa diharuskan membuat tempat perlindungan dalam tanah, yang atasnya ditimbuni tanah dan rerumputan agar tidak terdeteksi bila dilihat dari udara. Lubang perlindungan ini semacam bunker untuk berlindung sewaktu ada serangan udara dan pemboman dari musuh yang datang menyerang. Bila sewaktu-waktu ada penyerangan, tentara Dae Nippon membunyikan sirine dan desa-desa yang mendengar raungan sirine yang jaraknya cukup jauh dari kota diwajibkan untuk menyambung tanda bahaya udara itu dengan bunyi kenthongan, suaranya 2 macam kenthong yang satu bernada rendah dan yang satunya lagi bernada tinggi. Sehingga bunyinya menjadi suara yang harmonis : dhung-thong, dhung-thong.
Masyarakat bila mendengar suara dhung-thong atau sirine segera bersiap -siap masuk lubang perlindungan dengan menyumbat lubang telinga dengan kapas dan menggigitkan giginya kepada sepotong karet panahan. Tujuannya mencegah agar tidak mendengar kegaduhan tentara Jepang dan tidak membuka mulut bercakap-cakap bila melihat tentara. Masuk lubang perlindungan dikatakan ; ono dhung-thong hayo mlebu ngerong (ada bahaya mari masuk lubang)
Dhung-thong adalah sebagai siasat atau cara menipu rakyat agar lebih tenang bila sewaktu-waktu ada bahaya, kesibukan tentara Jepang dalam mengatur siasat dan gerakan persiapan perbekalan perang saja.
Tanda bahaya atau bunyi dhung-thong bukan saja pada siang hari, tetapi malam hari pun selalu terdengar tanda bahaya itu. Bila malam hari terdengar tanda bahaya, penduduk dilarang pula ada sinar lampu. Semuanya harus dipadamkan. Pemadaman lampu ini dijaga ketat oleh para seinendan dan keybodan yang bertugas dengan beringas. Pendudukpun tak dapat berbuat apa-apa, hanya kasihan bagi yang mempunyai anak kecil. Dapatnya hanya menghidupkan sinar lampu kecil yang diselubungi dengan kurungan rinjing atau kertas agar sinarnya tidak nampak dari luar. Rasa takut dan rasa benci terhadap tentara Jepang semakin tebal pada dada rakyat kecil.

Tidak ada komentar:

Kata Kunci Guru Dalam: Google,artikel,Blogger guru,guru kata,kata guru,guru dai,kata kunci,keywords,sertifikasi guru,artikel,Blogger,guru,guru kata,kata guru,kata kunci,sismanan,mts muhammadiyah patikraja,ma muhammadiyah purwokerto,info banyumas,dai banyumas,sertifikasi guru,patikraja guyub
Flag Counter